Tiren

by 20.52 0 komentar
Cerpen Maltuf A. Gungsuma
(Cerpen ini dimuat di Koran Minggu Pagi No. 05 Th. 63 Minggu V April 2010)
Namanya Tiren. Begitu orang-orang memanggilnya. Bukan hantu yang mati kemarin. Dia wanita cantik yang selalu dikucilkan. Pemilik mata sayu yang selalu kelihatan kuyu. Seorang wanita piatu. Hidup sebatang kara. Sedang orang-orang pada mengacuhkannya. Begitu pula teman-teman sejawatnya, mengolok-olok tiap kali dirinya pergi ke hutan untuk sekedar mengganjal perutnya.

Kisah ini bermula ketika bayi mungil melengking di tengah malam hujan. Suaranya membelah cakrawala, seakan menuntut janji kasih Tuhan akan takdir buruknya. Mengamini secercah sinar pada akhir takdir yang mencekam. Semerbak harum bunga dari bangkai kehidupan. Dialah bayi yang selalu menyesali kehidupan. Mengutuk tiap suara yang penuh cercaan.

Inilah kisah tentang penderitaan yang cukup sempurna. Tiren terlahir dari rahim seorang ibu cantik yang selalu berharap kebahagiaan dari seorang bapak ringkih. Seorang bapak yang tidak punya apa-apa. Hanya gubuk kecil yang dirasa semakin sesak setelah si rewel Tiren lahir. Semakin pengap setelah sekian lama Tiren tidak mau menghentikan kebiasaan ngompolnya yang sembarangan. Juga seorang bapak yang tidak bisa apa-apa. Tidak punya pekerjaan tetap. Hanya seorang buruh tani dari tetangga yang kikir.

Tiren. Begitu orang sekitar mengolok-oloknya. Padahal itu bukan nama aslinya. Dia hanya terlahir dengan nama Nur Aini. Tidak dengan nama lain. Nama yang cantik dan cukup indah. Nama pemberian bapaknya. Namanya yang kemudian menjadi kenangan. Terkubur bersama temuni. Terasing dari pujian. Kemudian nama Tiren menjadi lebih populer.

Entah kenapa, aku sebagai suami juga ikut-ikutan memanggilnya dengan nama Tiren. Padahal sama saja aku ikut mengolok-oloknya. Menghinanya. Mengutuk bapaknya. Tapi aku mengenalnya memang begitu. Dia yang memperkenalkan dirinya sebagai Tiren. Dia tidak menyebutkan nama lain, waktu aku sapa pertama kali di hutan. Hanya ceritanyalah yang membuatku tahu semua tentang dirinya. Termasuk juga tentang nama aslinya.

 ***

“Pokoknya bulan ini Bapak harus belikan saya baju baru. Belikan aku bedak dan peralatan kosmetik lainnya. Aku ingin kecantikanku tetap terjaga. Biar Bapak ikut senang punya istri secantik ibu. Ujung-ujungnya juga Bapak sendiri yang akan menikmatinya.”

Suara itu terdengar jelas di telinga Marsilam yang berada di amperan. Bu Karin, istrinya, terus berceloteh sambil duduk di depan cermin di dalam rumah yang berdinding gedeg. Marsilam menghela nafas berat. Terasa ada batu besar mengganjal dalam hatinya. Terasa sesak. Raut mukanya kusam. Matanya nanar sambil memandang cangkul di hadapannya. Tangan kirinya mengusap-usap benda warisan bapaknya itu. Tangan kanannya memegang cebok. Sesekali disiramkan air pada batang benda yang menjadi sumber rezekinya itu.

“Mau cari dari mana uang untuk membelinya, Bu?”

Mendengar penuturan suaminya, bu Karin sepontan menghentikan gerak sisirnya. Membalikkan badan dari depan cermin dan beranjak keluar. Dengan berkacak pinggang di bibir pintu, bu Karin menatap tajam pada lelaki yang membawa lari dirinya dari kehidupan gemerlap orang tuanya itu. Orang tua yang selalu menghalangi cintanya bersama Marsilam gagah di waktu muda. “Bapak kan sering nyangkul sawah milik Pak Samin. Masak hanya dipekerjakan tanpa diberi upah? Rugi, Pak.”

“Emang nasi yang dimakan kita setiap hari itu, Ibu pikir, dari mana?” Marsilam balik bertanya sambil mengembalikan cebok ke tajo. Tempat mandi keluarga Marsilam. Baru kemudian menggantung cangkul di langit-langit rumah yang tingginya hanya dua setengah meter. Cangkul itu diposisikan terbalik dengan memasukkan mata cangkul ke kayu atap.

“Bapak usaha apa lah, kalau tidak ingin saya balik ke rumah.” Kata-kata inilah yang sering kali dijadikan ancaman bu Karin buat suaminya. Karena dia yakin, Marsilam tidak akan pernah mau kehilangan dirinya.

“Bapak akan selalu memenuhi permintaan Ibu,” Marsilam mengucapkan itu dengan raut wajah gusar. Kemudian dilanjutkan,“Tapi mohon Ibu mengerti, sekarang Bapak lagi tidak punya uang sama sekali.”

“Kurang pengertian apa lagi Pak?” Bu Karin menyelidik.

Seperti biasa Marsilam hanya bisa mengelus dada dan beranjak meninggalkan wanita yang sempat menghiasi malam rindunya. Marsilam tidak mau beradu mulut. Segumpal cinta masih membeku walau mulai aus. Lantas dia tinggalkan gubuk cintanya. Menyusuri jalanan yang sesepi hatinya.

Sesuatu yang tidak terduga terjadi dan menjadi hal ikhwal datangnya bencana. Ketika Marsilam berada tepat di pinggiran jurang pembuangan sampah, dia menemukan karung menggelembung di dalamnya. Karung besar itu terisi penuh sesak, terikat erat dan sepasang kaki ayam menyembul keluar. Setelah celingukan mengamati situasi sekitar, Marsilam menuruni jurang tersebut dengan tergesa-gesa.

Di dekat karung tergeletak itu Marsilam berdiri. Dengan posisi seperti rukuk, tangan kirinya menyibak sedikit celah karung. Tiba-tiba senyum sangat tipis menyembul dari belah bibir coklatnya ketika menyaksikan berpuluh bangkai ayam segar menumpuk di dalamnya.

***

Lima bulan terakhir Marsilam semakin dicintai istrinya. Tidak ada lagi kata-kata kasar terhadapnya. Yang ada hanya pujian dan kemanjaan. Setelah sukses menjual sekarung bangkai ayam, Marsilam jadi ketagihan. Marsilam selalu mencari bangkai ayam baru. Mendatangi tempat-tempat ternak ayam sampai pinggiran kota. Kehidupan semakin sejahtera. Pelanggan dari berbagai daerah berdatangan untuk memesan daging ayamnya yang murah.

Hingga tiba pada suatu hari....
“Aku pesan sepuluh kilo daging ayam yang masih segar.”

Siang bolong di Pasar Senen yang ramai pengunjung. Seorang lelaki tambun dengan wajah sangar sudah berdiri di depan Marsilam yang lagi sibuk memotong daging ayam. Seketika Marsilam mendongakkan kepala.

“Secepatnya di antar ke alamat ini!”

Secarik kertas sudah berpindah ke tangan Marsilam yang belepotan darah beku. Tanpa berkata lagi pemilik wajah sangar berbalik dan meninggalkan Marsilam yang terbelalak melihat alamat di secarik kertas itu.

“Aku harus mengantarkan ke Lembaga Pemasyarakatan?” Marsilam bertanya pada dirinya sendiri. Ada firasat jelek yang melintas di pikirannya.

“Sama saja aku datang ke kandang macan. Aku harus mengantarkan pada ibu Tara, salah satu penghuni LP. Siapa sebenarnya ibu itu tidak jadi persoalan bagiku. Yang penting, bagaimana caranya identitasku tidak ketahuan petugas di sana.”

Marsilam mengalihkan lagi perhatian pada pekerjaannya. Dibiarkan saja pikiran waswasnya berkelana. Dia seakan tidak mau tau akan risiko setelah habis mengantarkan ke LP. Baginya, semua akan berlalu begitu saja tanpa masalah.

Sesekali mata Marsilam berkeliling luas pasar. Dengan cekatan tangannya memoles daging yang berwarna ungu dengan zat pewarna. Ada kegetiran dalam hatinya. Jijik. Meneteskan air mata. Bukan menyesal tapi meminta pengertian.

“Maafkan aku para pembeli daging bangkaiku,” suara serak tertahan di lehernya. Semua daging itu terus dilumuri dengan zat pewarna. Tidak ada yang ketinggalan.

“Aku berharap kau mengerti, betapa pekerjaan ini terjadi karena terpaksa. Aku tidak akan pernah melakukannya bila istriku tidak begitu.”

Marsilam terus bergumam dalam hati. Tapi bukan penyesalan. Karena sebentar lagi dia akan berangkat lagi mengantarkan daging bangkai. Secarik kertas menjadi petunjuk jalannya menuju LP.

***

“Bapak, aku mau makan daging ayamnya.” Tiren kecil, yang masih bernama Nur Aini, merajut pada Marsilam yang duduk di kursi kayu. Suatu malam benderang dengan bulan menggantung di langit. Inilah yang tidak pernah Marsilam inginkan. Keluarganya mau ikut makan daging bangkainya.

“Daging ayam Bapak tidak enak,” Marsilam berkilah.

“Aini mau dibelikan di luar saja ya sama Bapak.”

“Aini hanya mau daging ayam punya Bapak,” Aini tetap merajut.

“Teman-teman Aini bilang kok, kalo daging ayam punya Bapak enak.”

“Aini jangan mengkal sama omongan orang tua!” bentak Bu Karin beranjak dari tempat tidur dan duduk di pinggirannya. Matanya melotot menusuk mata lugu Aini. Marsilam hanya mengelus lembut anak tujuh tahun itu.

Aini tidak berani menatap mata ibunya. Wajahnya seketika tertunduk.

“Aini kan hanya ingin daging ayam punya Bapak.”

Melihat Aini yang tetap bersikukuh, kemarahan ibu Karin memuncak. Dengan sedikit meloncat ke arah Aini, tangan kanannya diangkat bersiap diayunkan ke pipi anak mungil itu.

“Ibu!”

Marsilam berhasil menangkap tangan istrinya. Tapi tanpa diduga, Tiren kecil membuka pintu dan melarikan diri.

Marsilam tersentak dengan apa yang dilakukan anaknya. Aini telah berada jauh di luar rumah.

“Aini.....!”

Marsilam hendak mengejar anak kesayangannya itu tapi terhenti di depan pintu. Tiga orang dengan tubuh tegap berbaju preman sudah berdiri di depan rumahnya. Aini berada di pangkuan salah seorang itu.

“Kami dari kepolisian. Anda ditangkap dengan tuduhan menjual daging bangkai ayam,” tukas seorang polisi berjaket hitam.

Sontak tubuh Marsilam menggigil. Suara itu begitu lembut tapi bagai tamparan baginya.

“Ibu Karin juga kami tangkap karena telah bersekongkol dengan kejahatan,” lanjut polisi tersebut.

Ibu Karin yang baru keluar rumah menyusul suaminya langsung jatuh pingsan. Dua polisi langsung berhamburan, memapah ibu Karin ke mobil polisi di luar pagar dan memborgol tangan Marsilam.

“Ternyata orang ini yang buat Bu Tara mual-mual karena tahu yang dimakan adalah bangkai,” celetuk polisi yang menggendong Aini.
Marsilam tersenyum bangga bisa memberikan pelajaran berharga bagi ibu Tara. Marsilam lebih merasa jijik melihat ibu Tara dari pada bangkai daging ayamnya. Saat mengantarkan pesanan ke LP, Marsilam jadi tahu kalau ibu Tara merupakan tahanan kasus korupsi yang memperoleh pelayanan istimewa di sana.

***

“Setelah itu Aini diasuh oleh seorang nenek, satu-satunya kerabat Marsilam yang peduli,” pungkasku mengakhiri cerita di depan keluargaku di meja makan. Beberapa daging ayam di atas piring belum ada yang tersentuh.

“Tapi hanya satu tahun saja, karena nenek itu keburu dipanggil menghadap Tuhan. Begitu setelahnya, Aini menjelma menjadi Tiren dan menjadi bulan-bulanan teman-teman sejawatnya.”

Tiren menunduk di meja makan tepat di sampingku. Perempuan anggun itu hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya dengan sendok dan garpu. Sesekali air matanya jatuh di sisi piring, berdenting seperti jeritan hatinya.

“Maaf anakku, aku belum bisa menentukan!”

“Ayah sendiri yang bilang, setelah diceritakan akan menerima Tiren apa adanya.”

Ayah malah beranjak meninggalkan hidangan makan pagi yang belum tersentuh. Ayah tidak menatapku sedetik pun setelah itu, hanya gelengan yang diperlihatkannya. Pergi dengan jas hitam meninggalkan bunyi klakson mobilnya. Ibu juga beranjak setelah menepuk pundakku. Kemudian bibi Ratna yang langsung berlari ke arah toilet. Kemudian terdengar suara orang muntah begitu keras.

Tiren menatap mataku sejenak.

“Maafkan aku,” ucapnya serak menahan pilu.
“Kamu tidak bersalah!”

Tiba-tiba Tiren beranjak dari sampingku juga dan berhamburan ke kamar pengantinku di lantai atas. Aku masih berdiam diri. Aku biarkan Tiren menyendiri, menumpahkan segala kesedihannya. Sementara aku tetap di meja makan dengan hati galau. Resah.

Suasana jadi senyap seketika. Aku celingukan. Ke mana semua orang?

“Tiren?”

Setelah pintu kamar pengantin terbuka lebar-lebar, air mataku tumpah ruah.

LSK Yogyakarta, Februari 2010

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.