Lastri

by 18.15 0 komentar
Cerpen Maltuf A. Gungsuma*
(Dimuat di Koran Minggu Pagi, No. 52 Th 65 Minggu V Maret 2013)

Aku merasakan getaran yang maha dahsyat. Keringat dingin dari kening, kepala, dan dada bidangku mengucur deras. Kemeja liris coklatku basah kuyup. Kata-kata tulus yang keluar dari bibir Lastri tidak pernah aku sangka sebelumnya. Dia ingin aku mengambil perawannya malam ini juga. Ya, di kamarku yang berukuran 3x4 meter ini.
“Sebelum kau pergi jauh, aku ingin memberikan keperawananku padamu,” kata-kata itu diulanginya kembali.
Aku masih duduk terpaku menatapnya dari atas kasur. Aku seakan tidak percaya dengan apa yang ada di hadapanku saat ini. Lastri berdiri menyandar di pintu sambil mencabut anak kuncinya. Dengan perlahan dia buka baju kaosnya. Tidak ada keraguan sedikit pun yang dia tampakkan.
“Apa kau sudah memikirkan keputusan gilamu itu, Lastri?” aku berusaha menenangkannya.
“Aku tidak mungkin memberikan harta yang sangat berharga ini padamu, kalau aku tidak memikirkan sebelumnya,” sebuah jawaban yang seakan sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Lastri.
“Lantas?”
“Aku tidak ingin memberikan keperawananku ini pada lelaki bodoh itu,” tegas Lastri dengan menatap tajam ke langit-langit kamarku. Muak. Pasti Jauhari yang dia maksud lelaki bodoh itu. Lelaki yang rencananya akan menikahi Lastri minggu depan. Lelaki yang telah mendapatkan restu dari orang tuanya.
Kini Lastri berdiri tanpa sebenangpun yang menempel di tubuhnya. Dia mendekatiku dengan raut muka memerah. Sorot matanya begitu pasrah. Sampai ketika dia ingin menanggalkan bajuku, aku menepisnya dan dorong tubuhnya perlahan.
“Lastri, pakai baju kamu!”
*****

Waktu itu pagi masih buram ketika Lastri meneleponku. Suaranya serak. Entah karena pagi yang menggigil atau ada hal lain yang menyebabkannya begitu, aku tidak tahu, tapi yang jelas dia belum pernah meneleponku sepagi ini sebelumnya.
“Aku ingin ketemu kamu, Faidi,” suara itu yang pertama kali aku dengar.
“Kenapa? Dimana?”
“Nggak apa-apa. Di tempat biasa. Sekarang juga aku tunggu disana.”
Tanpa minta tanggapanku lagi, telepon ditutup.
Aku berpikir keras. Ada apa dengan Lastri? Sudah tiga hari tidak ada kabar darinya. Sejak pertemuan terakhir hari Rabu. Hari itu dia sangat mesra memelukku. Sangat erat. Sesekali dia mengusap rambutku.
“Ternyata kamu jelek,” ledeknya waktu itu.
“Kamu lebih jelek lagi,” aku membalas ledekannya.
“Tapi aku suka kejelekanmu. Aku cinta kulit legammu. Aku sayang hidung pesekmu.” Lantas dia mencium pipiku setelah bilang seperti itu.
“Ayahmu jualan Mie ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Kok tau?”
“Itu rambutmu keriting, kayak Mie.”
Dia manyun. Aku tertawa melihat raut wajahnya yang memerah. Baru setelah itu aku membalas ciumannya dan memberikan kehangatan kasih sayangku padanya.
Aku tersenyum sendiri mengingat hari-hari indah bersamanya. Hari-hari yang sulit sekali untuk dilewati dan pagi ini dia mengajakku bertemu kembali. Mungkin dia juga merasakan rindu seperti yang aku rasakan. Ya, aku harus segera menemuinya. Pasti dia sudah tidak sabar bertemu denganku.
Aku bangkit dari tempat tidur, padahal mata masih lengket. Kepala masih pusing. Aku coba regangkan otot-ototku. Aku singkap kelambu. Mentari mulai mengintip dari balik reranting pohon mangga di halaman rumahku. Aku hirup udara segar itu sebelum bergegas ke kamar mandi.
Suasana di rumah sudah sepi. Ayah dan ibuku sudah pergi bekerja jadi buruh di suatu pabrik rokok. Ibu tidak pernah membangunkanku sejak aku menginjak SMA. Dia anggap aku sudah dewasa. Di pagi hari dia hanya meninggalkan sarapan dan uang saku, kemudian pergi. Begitupun sekarang. Padahal aku sudah tidak sekolah lagi. Masih dua minggu lagi aku akan kuliah ke luar kota. Ya, meninggalkan semua kenangan disini.
Suasana pagi tiba-tiba gelap. Mendung menyusul matahari dari timur. Berarakan begitu tebalnya. Musim penghujan selalu begitu; hujan selalu datang di pagi hari dan sore hari. “Bagaimanapun aku harus pergi,” tekadku dalam hati.
Setelah dirasa siap, aku keluarkan motor dari bagasi. Aku melaju ke Taman Bunga dengan suasana hati yang tidak menentu. Taman Bunga di tengah kota berjarak 4 kilometer dari rumahku. Rintik hujan mulai turun perlahan.
Sampai di Taman Bunga aku dapati Lastri sudah duduk di bangku panjang cat putih. Bermacam bunga menghias di taman ini, dari Mawar sampai Melati dan dari warna merah sampai warna-warni. Lastri memakai baju ungu yang selaras dengan ungu celananya. Tampak wajahnya anggun dengan latar bunga mawar merah merona di belakangnya. Senyumnya menyambutku.
“Fai, ajak aku pergi dari kota ini sekarang,” ucapnya sambil memegang pergelangan tanganku.
“Kamu mau ikut aku kuliah di kota seberang?” tanyaku yang belum mengerti dengan kegelisahannya. “Aku tidak mau kau meninggalkan sekolahmu demi aku.”
“Ya, aku mengerti, tapi aku melakukan ini bukan karena kamu, hanya demi cinta kita.”
“Emang kenapa?” tanyaku menyelidik.
Lastri menghela napas berat. Matanya berembun. “Bapak menjodohkan aku sama Jauhari,” ungkapnya pelan sambil menunduk, tapi suara itu cukup membuatku terkejut. Aku tidak menyangka takdir akan berkata seperti ini. Benarkah kenyataan ini? Benarkah cinta akan berakhir sampai disini? Aku mengusap air mukaku. “Aku sudah menutup pintu hati ini untuk orang lain. Aku tidak bisa menerima Jauhari, Fai,” lanjutnya. Air matanya jatuh di punggung tanganku yang lagi memegang tangannya erat.
Aku jatuhkan kepalanya di pundakku. Aku belai rambutnya. “Maaf Lastri, aku tidak bisa membawamu. Aku tidak mau membuat orang tuaku kecewa. Aku belum bisa apa-apa. Kehidupanku masih tergantung pada orang tua.”
“Kita cari nafkah bersama-sama. Aku tidak akan tergantung padamu.”
“Tidak bisa Las!”
“Terus aku harus bagaimana?”
“Terima perjodohan itu.”
Tangisnya semakin menjadi. Tangannya erat memelukku.
*****
Satu bulan sudah aku di kota pelajar ini. Aku tinggal di sebuah kamar kos kecil di dekat kampus. Semua kegiatan aku mulai dari kamar kos ini. Kemudian beraktifitas ke kampus dan basecamp organisasi. Banyak hal yang aku temui di kota ini yang sedikit membantuku melupakan kenangan bersama Lastri. Lingkungan baru yang begitu indah dan teman baru yang menawarkan persahabatan. Mungkin Lastri juga begitu. Dia pasti sudah melupakanku. Malam pertama pernikahannya semalam pasti cukup membuatnya bahagia dan melupakanku.
Ah, aku sangat menyesal melakukannya malam itu. “Maafkan aku Tuhan, maafkan aku Ibu, maafkan aku Jauhari,” desahku dalam hati terasa sesak.
Malam itu merupakan malam terakhir sebelum keberangkatanku, Lastri datang lagi menemuiku. Dia masuk menyelinap ke kamarku. Dia membujukku kembali untuk mengambil keperawanannya. Dia menangis. Dia pasrah di pangkuanku. Malam kelam itu aku tidak kuasa menolaknya. Satu malam dia bersamaku dibuai asmara buta. Ah Lastri, bagaimana dengan malam pertamamu bersama Jauhari semalam?
Lastri, ada hal yang belum aku ceritakan padamu. Jauhari menemuiku pagi itu pada hari ketika aku mau berangkat ke kota ini. Dia berterima kasih padaku karena telah merelakanmu untuknya. Dia mengajakku berjabat tangan dan menerima persahabatan darinya. Bahkan dia memelukku Las, dan mendoakanku mencapai cita-cita yang aku inginkan. Sungguh, dia baik sekali Las. Aku bahagia setelah tahu jati dirinya. Aku kira, dia akan sanggup membahagiakanmu.
Di tengah lamunanku, handpone-ku berdering. Aku ambil HP itu yang tergeletak di atas tumpukan buku. Ada nomer baru menelepon.
“Halo, ini siapa?” sapaku.
“Ini Jauhari bro,” jawab dari seberang. “Maaf ya nganggu, aku minta nomermu dari Lastri,” lanjutnya ramah.
“Wah, wah, pengantin baru, gimana kabarnya?” sambutku berusaha menyambut keramahannya. Sumringah.
“Hahaha. . . .dia menangis semalam bro.”
“Bukannya semalam kalian malam pertama? Lho kok Lastri sampai menangis, kenapa?” tanyaku kaget.
“Makanya kamu nikah bro, biar mengerti. . .”
Aku mengerutkan kening.
“Menangis itu tandanya masih perawan bro….”
Sontak aku kaget mendengarkan penjelasan Jauhari. Begitu polosnya dia berkata seperti itu. Aku jadi merasa tambah bersalah sama dirinya. “Emang kalau perempuan menangis ketika lagi bercinta itu tandanya perawan ya bro?”
“Kata temen sih begitu,” jelasnya datar. “Terus menurutmu gimana?” Jauhari tanya balik.
“Kok malah tanya ke aku? Aku kan belum nikah…hehe,” aku mencandainya. Dia tertawa juga.
“Okelah, kita sambung lagi lain waktu ya bro,” pungkasnya. “Ntar bro, tuh istriku lagi basah rambutnya dari kamar mandi,” bisiknya pelan, hampir tidak kedengaran. Setelah itu terdengar Jauhari tertawa berkelekar kemudian telepon benar-benar ditutup. Aku tersenyum geli mendengarnya. Sambil membayangkan suasana kebahagiaan disana, aku rebahkan badan di atas kasur tipis.
Sepuluh menit berlalu, HP berbunyi kembali. Kini ada pesan masuk dari Lastri.
“Mas, tadi bajingan itu cerita apa? Kurang ajar rahasia suami-istri diceritakan ke orang lain,” begitu pesan yang aku baca darinya.
“Biasalah, dia terbawa kebahagiaan mungkin sehingga seperti itu. Kamu yang sopan memanggil suamimu, bagaimana pun juga dia udah sah menjadi suamimu,” jawabku mencoba menasehatinya.
“Biarin saja, aku tidak sudi. Asal mas tau aja ya, semalam aku menangis karena teringat sama mas. Eh, malah dikira masih perawan…hahaha.”
Aku terhenyak dengan sikap Lastri yang masih belum bisa menerima kenyataan akan dirinya. Aku matiin HP.
“Aku menyesal menuruti kemauanmu waktu itu Lastri. Maafkan aku Jauhari,” desahku dalam hati penuh penyesalan.

Yogyakarta, 04 Maret 2013

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.