Aku Menulis Maka Aku Membunuh

by 18.14 0 komentar

(Jalan Panjang Menulis Cerita Pendek)
Esai Maltuf A. Gungsuma



     Menulis cerpen (cerita pendek) ibarat menciptakan sebuah kehidupan yang rumit dengan sekilas kisah yang mengatur gerak-gerik tokoh-tokohnya. Kemanapun arah cerita akan digiring, disitulah jari-jari cerpenis mengaturnya. Selama cerpenis menjalankan jemarinya, selama itu pula cerita berlanjut. Begitu jemarinya berhenti, berhentilah cerita. Entah cerita tersebut sudah mencapai penutup (ending) atau si cerpenis menemui jalan buntu untuk melanjutkan ceritanya.
     Andaikan saja cerpenis tidak membutuhkan pembaca, kebahagiaan cerpenis sudah mencapai klimaks sesaat setelah cerpennya selesai ditulis. Akan tetapi tidak demikian, ada tokoh lain yang ia pikirkan diluar alur cerita dalam cerpennya, yaitu calon pembaca ceritanya. Hal ini yang seringkali membuat cerpenis gamang. Tokoh ini begitu liar, seringkali berpikir diluar dugaannya. Lantas cerpenis mengatur pembunuhan si pembaca menggunakan cerpen yang ia tulis. Maka ia pun membekali para tokoh dalam cerpennya dengan berbagai jurus mematikan untuk melumpuhkan pembaca. Bagi seorang cerpenis, “Aku Menulis Maka Aku Membunuh”.
     Sekiranya ada tiga model cerita yang seringkali ditulis cerpenis. Pertama, cerpen yang menceritakan kehidupan sosial di sekelilingnya, baik itu diangkat dari kisah nyata maupun hanya berupa hasil imaji liar cerpenis yang tanpa batas. Imaji liar tanpa batas cerpenis seringkali melampaui sekat ruang dan waktu. Kedua, cerita epik. Cerpen jenis epik biasanya berdasarkan sejarah masa lalu yang dihadirkan kembali dengan tanpa menghilangkan ciri khas pada masanya bahkan dialog para tokoh pun diintegrasikan dengan tokoh yang sebenarnya. Majalah Annida sebelum dionlinekan pernah memberikan rubrik khusus untuk cerpen yang berjenis epik, biasanya bercerita tentang kerajaan-kerajaan terdahulu atau masa penjajahan kolonial.
     Ketiga, cerpen fabel. Cerpen yang berjenis fabel ini menggunakan tokoh dalam cerita berupa binatang yang bisa bicara layaknya manusia. Banyak kreativitas cerpenis pada jenis ini, seperti menjadikan binatang sebagai tokoh utama dan manusia sebagai antagonis dan bisa juga sebaliknya. Memang pada mulanya cerita fabel merupakan sebuah dongeng yang biasa diceritakan pada anak-anak, tapi pada perkembangannya banyak cerpenis menuliskannya dengan berbagai genre sesuai kreasi dan nalarnya.
     Lantas, apapun minumnya, kopi menjadi sahabat paling setia cerpenis dalam menemaninya berkarya. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan, apapun jenis cerpen yang ditulis cerpenis kalau tidak bisa menggunakan jurus berubah wujud menjadi pembaca, maka ia sendiri yang akan terbunuh. Memposisikan diri menjadi pembaca ketika menulis menjadi sangat penting dilakukan oleh seorang cerpenis, terutama ketika proses editing.
     Sekiranya ada beberapa jurus yang dilakukan cerpenis untuk membunuh pembaca. Pertama, mempercantik pragraf pertama cerpennya. Ada beberapa alat make up yang biasanya sering digunakan, seperti deskripsi ciamik, dialog ambigu dan bunyi yang menyentak. Mari kita bahas satu persatu. Pada deskripsi ciamik dibuat dengan mendeskripsikan suasana atau keadaan dengan begitu jelas, lugas dan menggiurkan. Jelas dan lugas masih terlalu mudah untuk dibuat, tapi untuk menjadikannya menggiurkan merupakan pekerjaan sulit, karena semakin besar kalimat yang menggiurkan bagi pembaca maka semakin besar pula pembaca akan meneruskan pada pragraf selanjutnya. Sebagai contoh pada pembukaan cerpen saya dengan judul Meisa dan Ular di Lehernya yang sudah dimuat di Suara Merdeka di bawah ini:
                Lihat perempuan itu, bukan emas atau berlian di lehernya, tapi ular. Ia memang cantik, semua pemuda disini tahu itu dan berdecak kagum setiap melihatnya melintas di jalanan desa. Tapi kau mesti tahu kalau ular di lehernya itu berbisa. Dan yang sangat mengerikan lagi, ular itu hanya patuh pada majikannya.
     Pada dialog ambigu yang saya maksudkan adalah membuat suatu dialog pada pragraf pertama yang antara dimengerti dan tidak sangat sulit dibedakan oleh pembaca. Misalkan seorang cerpenis menulis pembuka dengan dialog “Bodoh!”. Ya, kata “bodoh” dimengerti tapi siapa yang bodoh dan kenapa berteriak demikian? Tentu itu yang tidak dimengerti oleh pembaca yang akan menggiringnya untuk membaca pada pragraf selanjutnya dan selanjutnya.
     Sedangkan untuk bunyi menyentak berupa bunyi-bunyi benda maupun juga suara hewan suatu tragedi atau konflik di awal cerita. Misal yang sering kita jumpai bunyi bom, tembakan, tabrakan, ketokan pintu dan semacamnya. Bunyi atau suara yang menyentak tersebut tentu membuat gairah pembaca untuk mengetahui tragedi apa yang terjadi.
     Kedua, permainan alur, entah linear atau maju-mundur (flashback). Jurus ini biasanya digunakan cerpenis sesuai karakternya. Kadangkala seorang cerpenis lebih cocok membuat cerpen dengan linear dan ada pula yang sebaliknya. Dari dua jalan ini terdapat kekuatan dan kelemahannya masing-masing, tergantung kepiawaiannya merangkai cerita sesuai karakternya dan selanjutnya pembacalah yang akan merasakannya.
     Ketiga, penentuan penutup (ending). Tidak elok rasanya bila seorang cerpenis mengabaikan ending sebuah cerita, padahal pembaca sudah di titik sekarat tapi cerpenis tidak mengambil kesempatan itu untuk membunuhnya. Sungguh pekerjaan sia-sia mengeluarkan segala macam jurus dari awal ketika cerpenis membiarkan pembaca selamat meloloskan diri dari jebakan di ending cerita. Hal ini sangat penting untuk memberikan kesan pada karya cerpenis selanjutnya bagi pembaca.
     Jurus-jurus selanjutnya mungkin saja masih tersisa yang perlu kita bicarakan, tapi sayangnya saya perlu bertapa kembali untuk mempelajarinya. Atau ada dari kita yang baru saja menemukan kitab sakti Wasiat Iblis Wiro Sableng? Mari kita berdiskusi!

Jogja, 26 Februari 2017
*)Tulisan ini tidak berdasarkan literatur manapun, hanya berupa serpihan-serpihan dari perjalanan kepenulisan penulis yang dipaksakan untuk disampaikan pada diskusi rutin Komunitas Menulis Pinggir Rel (MPR) pada 26 Februari 2017 di Warkop Blandongan Cafe Jogja.

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.