Cerpenis dan Ceritanya yang Hilang

by 18.29 0 komentar


Cerpen Maltuf A. Gungsuma



Malam ini begitu sunyi. Bukan hanya malam ini, tapi juga malam-malam sebelumnya. Tidak ada yang menyapa atau berkenan mengetuk pintu. Semua seakan menginginkanku berdiam sendiri di kamar ini.

Bermula sejak kepulanganku dari kota seberang, semua penghuni rumah ini seperti mayat hidup yang gentayangan tiap hari dan malam. Membisu, dan tidak mau menyapaku. Mungkin lebih tepatnya, mereka mirip zombi. Ya, sangat mirip zombi.

Tiap hari bapak selalu duduk di kursi kayu ditemani kopi dan beberapa batang rokok di atas meja di sampingnya. Wajahnya pucat, begitu pula dengan bibirnya. Tatapannya selalu kosong ke depan. Kadangkala beberapa tetes air mata jatuh membasahi jas hitamnya yang sudah lusuh. Sedangkan ibu di dapur membunyikan piring, gelas, cobek, pisau, ikan digoreng, dan sesekali isak tangis terdengar. Aku tidak mengerti, mereka seperti zombi yang tidak pernah ingin berbagi. Bahkan, mereka tidak lagi memanggilku untuk makan bersama, hanya menyisakan sepiring nasi di meja makan dan meninggalkan secarik kertas kalau masakan itu untukku.

Jujur, aku pulang bukan karena paksaan dari bapak yang menginginkanku menikah dengan seorang perempuan pilihannya. Bukan juga kasihan sama ibu yang selalu menangis memaksaku segera pulang karena sudah kepalang rindu. Menurutku, itu semua hanya penyakit orang tua saja yang terlalu khawatir pada anak semata wayangnya. Aku pulang karena sangat merindukan cerita seorang cerpenis yang lahir dari desaku ini. Ya, sudah lama tidak membaca cerpennya di koran minggu. Ceritanya menghilang sejak April tahun lalu. Aku takut ia pensiun dini menjadi penulis.

Namanya Niken Larasati, aku sangat menyukai ceritanya, mungkin kau juga akan begitu bila pernah membacanya. Alur ceritanya cantik dan manis. Sangat nikmat membacanya di pagi hari ditemani segelas kopi. Tapi yang membuatku kesepian beberapa bulan ini, cerpennya tidak lagi muncul di koran minggu. Aku sangat merindukannya, sampai aku memutuskan pulang dari rantau dan ingin membantunya menemukan cerita untuk dituliskannya. Mungkin imajinasinya lagi buntu. Seperti kebanyakan para penulis, kadangkala mengalami ide buntu, kemudian mencari pencerahan dengan berbagai cara, upaya, dan juga beberapa tingkah konyol.

Mungkin kau pernah dengar tentang penulis yang mengaku tidak pernah bisa menulis tanpa merokok. Bukan kebiasaan bagus memang—seperti tertulis di bungkusnya—banyak penyakit yang akan ditimbulkan dari asap rokok, tapi memang begitu pengakuan penulis itu, penggiat anti asap rokok dilarang protes kalau tidak mahu diprotes balik olehnya. Kemungkinan seperti ini balasan dari penulis itu, “Hai pegiat anti asap rokok, Anda melarangku merokok berarti Anda sudah siap menggantikan rokok dalam hidupku? Memberiku ispirasi untuk bahan tulisan-tulisanku, menemani hidupku siang dan malam sesetia rokok padaku?” Hahaha, penulis kok dilawan!?

Malam ini, malam pertama ingin memberi inspirasi buat Niken, aku berharap ia lewat di depan rumahku. Jalan desa tepat di depan rumahku memang menjadi jalan satu-satunya baginya untuk bepergian ke pasar dan ke kota, ataupun sebaliknya. Dulu, aku sering berpura-pura melempar bola ke jalanan, kemudian bergegas memungutnya kembali ketika ia mau melintas depan rumahku. Saat itulah aku menyapanya atau sekedar melempar senyum ke arahnya. Waktu itu aku belum tahu ia penulis cerita yang pernah menulis tentangku sebagai si lelaki yang suka melampar bola ke jalanan. Ternyata ia mengerti, bahwa sebenarnya bukan bola yang ingin aku lemparkan, tapi rindu yang ingin diobati dengan bertemu dengannya.

Setelah sekian lama tidak pernah melihat sosoknya, mungkin malam ini aku bisa mengobati rinduku. Kalau benar ia lewat depan rumahku malam ini, aku berharap ia melihat ke jendela dimana aku akan berdiri. Kamarku ini berada di lantai dua tepat menghadap jalan. Tentu ia akan sangat gampang menemukanku disini.

Aku menyingkap gorden, membuka lebar-lebar jendela dan membiarkan angin dingin malam menerobos masuk. Sinar rembulanpun ikut berjubel masuk. Daun-daun pepohonan ikut membuat bayang-bayang keindahan malam. Sengaja aku ciptakan keindahan suasana ini untuk memberinya inspirasi tentang lelaki yang berdiri di balik jendela. Aku ingin ia menceritakan tentangku lagi. Menceritakan tentang lelaki yang kesepian, memandangi rembulan dari balik jendela. Ah, itu hanya sebatas imajinasiku saja, tentu ia sebagai penulis lebih tajam imajinasinya dari padaku.

Aku berdiri di balik jendela dan sorot bola mata aku arahkan ke jalanan. Sesekali pejalan kaki melintas, juga pemotor, pesepeda dan penjual gorengan keliling. Sesekali juga jalanan lengang. Aku terus mengamati dan memicingkan mata ketika ada perempuan yang melintas. Aku selalu berharap ia yang melintas dan memalingkan mukanya ke arahku. Tapi semakin malam semakin larut, ia belum saja melintas. Aku tetap berdiri dari balik jendela, menunggu sampai akhirnya ia benar-benar lewat di depan rumahku. Ya, itu sosoknya menoleh ke arahku, ia tampak terpaku sebentar, kemudian bergegas pergi. Mungkin ia terburu-buru ingin menuliskannya. Aku tersenyum. Ia benar-benar mendapat inspirasi.

Hanya itu? Ya, hanya itu yang aku tunggu berjam-jam di balik jendela ini.

***



Siang ini tapi bukan malam, hanya gelap saja suasana. Awan tebal menyelimuti alam. Halilintar menyambar-nyambar menggetarkan kaca jendela. Angin gemelisir tipis mendayu-dayu. Tetes air hujan mulai berjatuhan. Kadangkala tetes-tetes itu membentur jendela, terbawa angin. Menempel pada kaca jendela, mengkristal dan meleleh satu-persatu. Sepertinya hujan akan lebat siang ini.

Benar saja, tidak berselang lama, hujan lebat pun turun menghujam bumi. Angin gemelisir kini menjelma angin setengah badai. Merontokkan daun-daun mangga dan jambu air ke tanah, serta sesekali reranting kecil berjatuhan. Suasana di luar terasa sangat mencekam.

Biarpun begitu, ingin sekali aku menembus hujan itu dengan payung hitam menyusuri jalanan. Sepertinya akan jadi panorama yang menawan. Tapi kau jangan skeptis dulu, coba kau bayangkan; lelaki tampan sepertiku, tubuh tinggi kekar nan atletis, serta kulit putih halus, menembus hujan lebat dengan payung hitam. Oh, senyum apapun pasti akan kau berikan untuk memikatku memberi tumpangan payung padamu. Sudahlah, tidak perlu malu untuk mengakui, mengamit tangan kekarku pasti kau idamkan.

Tiba-tiba aku teringat seseorang, yang membuatku bergegas mengambil payung hitam yang menggantung di tembok ruang tamu dan segera keluar rumah. Angin kencang langsung memburuku, air hujan menghantam. Payung hitam terhuyung-huyung terbawa angin, aku berusaha mencekalnya sekuat tenaga. Kini, diantara tetes hujan yang membentur payung hitam dan berjatuhan, kau bisa saksikan sosokku yang rupawan.

Aku berjalan menyusuri jalanan yang tergenang. Sungguh aneh, tiada percikan air pada setiap langkahku, air tergenang selalu tenang mengalir. Ah, begitulah air; kadangkala air bertingkah di luar nalar, seperti dulu saat aku mengalirkan perahu kertas, ia hanya berputar-putar di tempat. Air beriak berarti tak dalam, air diam berarti ada rahasia terpendam.

Apakah kau telah menebak kalau aku melangkah hendak kemana? Rumah Niken, ya, rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Hanya melewati tiga pos ronda, dua belokan, setelah itu akan menjumpai bangunan sekolah dasar, di samping sekolah itulah rumah Niken berdiri dengan tembok warna kuning dan coklat. Pohon bunga sepatu berjejer membentuk pagar hidup di depan rumahnya, dengan setinggi dada orang dewasa. Sekarang aku sudah melewati pagar itu dan berdiri di depan rumahnya. Warna tembok rumahnya sudah memudar.

Hujan masih lebat, rumah Niken tertutup rapat. Aku mengitari rumahnya mencari sebuah jendela, masih dengan payung hitam di genggamanku. Tiada lain, jendela itu di kamar Niken, jendela yang selalu aku intip dulu dari atas pohon jambu di samping bangunan sekolah setiap pagi sebelum jam sekolah. Berharap ia sedang buka jendela lebar-lebar dan menggeraikan rambut lurusnya. Sekarang, aku mengetuk tiga kali jendela itu, kemudian menjauh sepuluh langkah ke belakang.

Perlahan jendela terbuka, Niken muncul sambil mengusap-usap matanya, sepertinya ia baru saja tertidur. Rambutnya tergerai berantakan. Tidak terlalu sulit ia menemukan keberadaanku. Aku tersenyum ke arahnya. Tampak ia memicingkan matanya, mengusap-usapnya kembali, mungkin ia ingin memastikan kalau itulah aku.

“Kau Sulaiman?” sapanya pelan, memastikan.

Aku mengangguk.

Ia memandangi lekat-lekat tubuhku, dari ujung kaki sampai ujung payung yang aku pegang. Tiba-tiba bergegas ia menutup jendela. Mungkin ia ingin cepat-cepat menuangkannya ke dalam cerita, tentangku, tentang lelaki hujan dengan payung hitam di genggamannya. Mungkin saja ia akan membumbui ceritanya dengan seorang perempuan yang selalu memohon hujan hanya untuk bertemu dengan lelaki itu dan mengamit tangan kekarnya berkeliling desa. Sungguh indah!



***

Malam ini sungguh pekat, tiada bulan, hanya beberapa bintang mengerling dari kejauhan. Tiada suara apa-apa, senyap. Bahkan, yang tadinya terdengar suara televisi, sekarang tidak lagi, membuat malam semakin sunyi. Ibu dan bapak sudah menutup pintu kamar mereka rapat-rapat. Tinggal aku sendiri. Ya, seperti malam-malam sebelumnya, selalu terjaga, rasa kantuk tidak pernah menghampiriku.

Tiba-tiba terdengar samar suara kaki melangkah mendekati pintu. Kemudian, tiga kali ketok pintu terdengar.

“Siapa ya?” suara ibu sambil melangkah ke arah pintu.

“Niken, Bi!”

Aku pun terkejut mendengar suara itu. Bergegas aku keluar kamar dan mengintipnya dari tepi tangga. Tampak ibu membukakan pintu.

“Niken, ayo masuk,” sambut ibu saat mendapati Niken sudah berdiri di depan pintu.

“Kamu sendirian kesini?”

“Iya Bi, terburu-buru kesini.”

“Tumben malam-malam kesini, ada apa, Nduk?”

“Ada hal penting yang harus saya sampaikan sama Bibi.”

“Apa itu?” ibu menimpali.

“Tentang Almarhum Sulaiman, Bi.”

Sontak aku terkejut mendengarnya. Jadi, aku sudah meninggal?

“Ya, sampai sekarang aku masih merasakan kehadirannya di rumah ini,” urai ibu dengan suara serak. “Ia tidak benar-benar pergi. Angan-angannya sangatlah besar terhadapmu. Perlu kamu ketahui, Niken, ia pulang hanya ingin menemuimu. Ia selalu menceritakannya padaku, bagaimana ia ingin sekali membantumu menuliskan cerita. Tapi kecelakaan itu telah memusnahkan angan-angannya. Mungkin gara-gara itu arwahnya masih gentayangan ingin menemuimu.”

“Apa yang harus aku lakukan, Bi?”

“Buatlah cerita untuknya!”

Ternyata aku sudah tidak punya air mata untuk menangis.

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.