Jadi Pengemis atau Koruptor?

by 19.10 4 komentar

Oleh Ahmad Maltup*
(Tulisan ini dimuat di Harian Jogja, 19 Juli 2013)

Pertanyaan pada judul tulisan ini sebenarnya muncul dari seorang pengemis yang sempat ngobrol dengan penulis pada beberapa waktu lalu di sudut kota pelajar ini. Pengemis itu membela diri dengan mengatakan, lebih baik menjadi pengemis dari pada menjadi koruptor. Ia beralasan, menjadi pengemis lebih terhormat, mendapatkan uang halal dari hasil meminta tanpa paksaan pada para dermawan, sedangkan koruptor sebaliknya, mengambil uang rakyat secara diam-diam dengan menggunakan kekuasaannya. Sebuah argumentasi yang masuk akal, walaupun ada beberapa kalangan menganggap pengemis meresahkan, mengganggu ketertiban lalu lintas, mengotori, dan mengganggu pemandangan kota. Pemerintah juga menginginkan, pengemis harus direhabilitasi dengan melakukan razia rutin, terutama pada bulan Ramadan ini.
Akan tetapi, ketika kita sodorkan hal serupa pada koruptor, tentu ia tidak akan mau menjadi pengemis. Kalau boleh milih, ia akan memilih menjadi koruptor dari pada pengemis. Dengan asumsi, menjadi koruptor lebih menjanjikan kesejahteraan dari pada pengemis yang hanya mengharap iba dari para dermawan. Dalam hal ini juga yang dikedepankan gengsi, dimana seorang koruptor ingin status sosial lebih tinggi dari sebelumnya dengan memanfaatkan kekuasaannya. Mumpung jadi penguasa dan mumpung ada kesempatan untuk melakukan korupsi, kenapa tidak?
Pada hakikatnya, tidak ada yang mau jadi pengemis atau koruptor. Keduanya, secara psikologis, merupakan profesi yang akan membuat orang yang menyandangnya akan merasa malu. Siapapun akan merasa malu ketika dipanggil dengan sebutan pengemis atau koruptor. Akan tetapi, kenapa semakin menjamur kedua profesi ini di sekeliling kita? Ini yang menjadi PR kita bersama untuk menjawabnya.
Mari kita analisis sedikit tentang keduanya. Ternyata kalau kita lebih mendalami lagi terhadap realitas yang ada di lapangan, kita akan menemukan fakta menarik bahwa, menjadi pengemis atau koruptor sudah menjadi pilihan hidup. Seorang pengemis terpaksa memilih menadah pada orang lain karena dituntut keadaan yang memaksanya, seperti menjadi petani yang tidak menentu penghasilannya, menjadi buruh pabrik yang tidak mencukupi kehidupan sehari-hari, atau malah menjadi pemulung yang hidup serba kekurangan. Hampir sama dengan pilihan menjadi koruptor, ia seakan terpaksa melakukannya. Biaya kampanye sebelum ia menjadi penguasa merupakan hal pertama yang diperhitungkan. Kemudian budaya glamor akan tercipta dengan sendirinya ketika status sosial semakin meningkat, biaya hidup sehari-hari meningkat tajam. Terlebih lagi, banyak hal yang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri, seperti kebiasaan orang-orang terdekat meminta sumbangan pada pejabat publik (penguasa). Walaupun tidak menutup kemungkinan, kebiasaan korupsi tersebut menjadi kecanduan untuk melakukannya berulang kali.

Fenomena Pengemis
Jurgen Habermas berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan hal pokok bagi negara modern. Selanjutnya menurut Habermas, jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas, “The risk of unemployment, accident,  ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state”. Hakekatnya, hasrat semua manusia di dunia ini mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara  demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Menjadi pengemis menjadi salah satu pilihan terpahit untuk mencapai kesejahteraan. Karena sudah menjadi rahasia umum, ternyata menjadi pengemis sangat menjanjikan di negara yang mayoritas penduduknya masih menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual ini.
Bukan hanya di pelosok desa, pengemis juga tersebar di sudut-sudut kota, terutama di tempat keramaian. Fenomena ini tidak bisa dipungkiri, sudah menyebar di kota-kota besar, termasuk di Yogyakarta. Sudah banyak hal yang dilakukan untuk menanggulanginya, tapi para pengemis selalu bermunculan seperti laron di musim penghujan, terutama saat memasuki bulan Ramadan. Di bulan ini para pengemis sangat paham akan kondisi psikologis masyarakat yang akan ringan tangan memberi sedekah. Bahkan, dari berbagai daerah berbondong-bondong ke kota untuk mengais rezeki. Ada beberapa kalangan mensinyalir, terdapat EO (Event Organizer) yang mengorganisasi para pengemis tersebut yang juga dapat keuntungan dari para pengemis yang disebar di beberapa titik daerah strategis. Penentuan daerah strategis ini berdasarkan keramaian dan tempatnya, seperti pasar dan masjid-masjid.

Fenomena Koruptor
Fenomena koruptor ternyata tidak jauh berbeda dengan pengemis. Satu koruptor ditangkap, bermunculan beberapa koruptor, bahkan dari pejabat dan elite politik yang seharusnya memberikan contoh tergiur untuk melakukan korupsi. Sebut saja dari mentri, anggota dewan, gubernur, bupati, walikota, pejabat birokrasi, bea cukai, pejabat perbankan, pejabat pajak, dan lain sebagainnya beramai-ramai melakukan korupsi. Tentu KPK tidak akan menjadi pengangguran dengan fenomena seperti ini.
Banyak upaya untuk memberikan efek jera para koruptor, tapi hal itu seakan tidak berefek apa-apa, korupsi berjalan terus. Misalnya, upaya KPK dengan membuat baju khusus tahanan koruptor, sampai sekarang sudah kesekian kalinya mengalami moderisasi. Mahfud MD, mantan Ketua MK, juga pernah menyarankan agar para koruptor dibuatin hutan koruptor. Tapi yang usulan ini belum direalisasikan, sama halnya dengan aspirasi rakyat yang menginginkan koruptor dihukum mati.
Baik pengemis maupun koruptor sama-sama menjamur di negeri ini. Hal ini menjadi tanggungjawab di pundak pemerintah untuk menanggulanginya atau hanya sekedar meminimalisir keberadaannya. Tapi bagaimanapun usaha pemerintah kalau tidak didukung oleh masyarakat, hal itu tidak akan berjalan maksimal. Untuk pengemis, masyarakat memberikan dukungan dengan tidak memberi sedekah di jalan raya. Sudah ada beberapa yayasan sosial yang menerima sumbangan. Untuk koruptor, masyarakat bisa membantu dengan memberikan informasi bila menemukan tindak pidana korupsi di sekitarnya.

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

4 komentar:

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.