Melihat Dimensi Kewalian Gus Dur

by 11.27 0 komentar
Ritual Gusdur dan Rahasia Kewaliannya Penulis Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoerul Rosyadi Penerbit Galang Press, Yogyakarta Cetakan 1,2010 Tebal . 204 halaman


Peresensi Ahmad Maltup)*

Clifford Geertz dalam penelitiannya mengenai Islam Jawa menyebutkan, wali adalah sosok pribadi yang mengenal dan dekat dengan Allah. Wali bisa mentransformasi-kan diri, memindahkan diri melintasi jarak tertentu, berbicara dengan lidah yang luas, membangkitkan orang mati, mencapai perbagai fenomena, serta membaca pikiran, telepati, dan ramalan.

Di samping itu, banyak orang menafsirkan wali sebagai orang yang nyeleneh. Perkataan dan tingkah lakunya tidak masuk akal, berada satu maqom (tingkatan) di atas nalar manusia biasa dan seakan berbau mistik. Akan tetapi, ke-nyele-nehan-nya itu terjawab ketika perkataan si wali benar-benar menjadi realitas, mencengangkan orang, dan di luar nalar akal sehat

Adakah sikap kewalian Gus Dur, panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid, merepresentasikan hal itu?

Pengantar buku ini juga mengulas kewalian Gus Dur. Seperti kita ketahui, wafatnya Gus Dur pada pengujung 2009 telah menyentakkan kesadaran banyak orang, ketika tokoh kontroversial itu mampu menggedor emosi ribuan warga nahdliyin dan para santri di Tanah Jawa dan di berbagai wilayah lain.

Bukan hanya "kaum sarungan" yang merasa kehilangan sosok Gus Dur. Masyarakat lintas agama dan kepercayaan juga rela berdesak-desakan dengan ribuan pelayat yang lain di Pesantren Tebuireng, Jombang. Gus Dur seakan melengkapi keanehannya selama masa-masa hidupnya bahwa kematian juga bisa bermakna multikultural, bahkan bisa menjadi titik temu berbagai pihak yang selama ini berseteru. Adakah semua itu bagian dari teka-teki kewalian Gus Dur?

Peristiwa tujuh hari, empat puluh hari, hingga seratus hari wafatnya Gus Dur, tetap merupakan momen menarik bagi banyak pihak. Bukan hanya pihak kerabat, kaum nahdliyin, warga Cianjur atau Tebuireng yang menggelar tahlil dan doa bersama, tapi di tempat-tempat ibadah agama lain, seperti Gereja, Vihara, Klenteng, dan Pura dengan ritualnya masing-masing turut mendoakan Gus Dur. Adakah semua itu juga menjadi penanda kalau di sana tersimpan rahasia kewalian Gus Dur?

Penulis buku ini mengutip penelitian Mark R Woodward tentang Islam Jawa yang memperkuat kewalian Gus Dur bahwa penghormatan kepada para wali dengan melakukan ziarah ke rnakam-makam mereka, memainkan peran sentral dalam kesalehan mistis Islam Jawa.

Dari Maroko hingga Indonesia, makam para wali diyakini menjadi sumber berkah. Makam-makam itu manarik banyak pengunjung yang berharap memperoleh berkah sang wah. Berkah ini dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak terkira banyaknya, mulai dari pengobatan, meraih dan mempertahankan kedudukan dalam kekuasaan, sampai kemajuan spiritual peminatnya (hal 172).

Celana Pendek Gus Dur

Mungkin masih banyak yang ingat, pada dini hari Senin, 23 Juli 2001, Gus Dur sebagai presiden waktu itu mengumumkan dekrit pembekuan MPR DPR, dan Partai Golkar. Siang harinya. Gus Dur diberhentikan langsung oleh MPR yang dipimpin Amien Rais, tokoh yang juga mengangkatnya menjadi presiden.

Mendengar hal itu, sebagai bentuk protes dari masyarakat pro-Gus Dur, banyak demonstran berunjuk rasa di lapangan Monas. Pada malam harinya. Gus Dur digandeng putrinya, Yenny Zanuba Wahid, dan beberapa orang lainnya, tampil di teras Istana Merdeka.

Hanya dengan celana pendek dan T-shirt abu-abu, Gus Dur melambaikan tangannya ke arah timur lapangan Monas atau persis di depan Istana Merdeka, tempat pendukungnya berkumpul. Sebenarnnya, Gus Dur sudah keluar sebelumnya dan melambaikan tangannya dengan pakaian lengkap. Akan tetapi, karena pada adegan pertama wartawan tidak banyak yang meliput, diputuskan diulangi lagi, walaupun dengan pakaian seadanya.

Peristiwa yang menimbulkan campuran rasa haru dan jenaka itu membuat wartawan bertanya-tanya. Tapi dengan santai Gus Dur menjawab, "Itu lebih baik daripada tidak pakai celana." Anehnya, perkataan itu diamini oleh wartawan berapa minggu setelah itu, "Gus, Anda benar, ternyata anggota DPR kita seperti murid taman kanak-kanak".

Multi-dimensional

Mengacu pada uraian di atas, patut rasanya bila Gus Dus dicap sebagai wali yang multidimensional. Seperti dikatakan Ketua PBNU KH Said Aqiel Siradj, dalam endorsement buku ini bahwa kewalian Gus Dur berbeda dengan kewalian pada umumnya yang hanya berada pada satu maqom.

Mulai dari "kewalian intelektual", "kewalian ludruk", hingga "kewalian presiden", semua melekat pada diri Gus Dur yang juga seorang "Profesor Kuburan" dan "Guru Besar Pluralisme".

Namun yang perlu kita pahami adalah bahwa las ya rifai waafyiUal waliy, tidak akan mengerti kewalian seseorang kecuali orang tersebut juga wali. Sesungguhnya, setiap wali itu disembunyikan oleh Allah, hingga tidak ada yang mengetahui kecuali Allah sendiri. Sedangkan manusia biasa hanya memperkirakan dengan tanda-tanda kewalian yang ada

Terkait dengan Gus Dur. tanda-tanda kewaliannya seringkali dirasakan oleh orang-orang terdekatnya, terutama menjelang wafatnya. Profesor Suhardi, ketua umum Partai Gerindra, mengisahkan firasat Gus Dur tentang kematiannya sendiri ketika dirawat di ruang ICCU RSCM.

Gus Dur menitipkan bangsa ini pada Pak Hardi. Tolong ikut dikawal Pansus Century di DPR. Besok Kamis, saya akan pulang ke Tebuireng dengan diantar banyak orang. Saya sudah ditunggu ayah saya di sana."

Buku ini mencoba mengurai ritual dan rahasia kewalian Gus Dur dari berbagai sudut pandang. Disajikan dengan berbagai referensi dari berbagai sumber, untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca guna diapresiasi.

Terlepas apakah wali atau bukan. Gus Dur adalah orang yang banyak berjasa bagi bangsa ini. Jasa tersebut sudah layak menjadikannya sebagai Guru Bangsa. Guru Pluralisme, bahkan bila perlu, menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional.)

Peresensi adalah Pustakawan dan Mahasiswa Hmu Perpustakaan LIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.