http://www.elevenia.co.id/promo-lomba-blog-896974





Cara Ikutan

1. Peserta harus membuat tulisan sesuai dengan Teknis Penulisan yang telah ditentukan dan tulisan harus ditampilkan di halaman blog milik peserta.
2. Peserta harus LIKE halaman media sosial elevenia (Facebook, Twitter, Instagram).
3. Peserta SHARE halaman Lomba Blog elevenia (http://www.elevenia.co.id/lomba-blog) di akun-akun media sosial peserta (Facebook & Twitter). Tombol share terdapat pada bagian bawah “Formulir Registrasi”.
4. Peserta mendaftarkan tulisan/postingan Blog yang telah dibuat pada “Formulir Registrasi” yang telah tersedia di bawah.


Teknis Penulisan

1. Materi tulisan harus memuat poin-poin topik sebagai berikut:
Ceritakan siapa orang yang paling kamu sayang.
Jelaskan mengapa kamu menyayangi orang tersebut.
Hadiah apa yang cocok untuk orang yang paling kamu sayang itu.
2. Materi tulisan dibuat dalam Bahasa Indonesia.
3. Materi tulisan harus memuat minimal 500 kata, tidak termasuk judul tulisan.
4. Judul tulisan harus berkaitan dengan materi tulisan.
5. Materi tulisan harus memuat tautan/hyperlink ke salah satu dari kategori produk yang terdapat di elevenia. Tautan harus sesuai dengan isi materi tulisan.
6. Copy salah satu link di atas dengan cara klik kanan dan pilih 'Copy Link Address' dan sisipkan dalam tulisan/postingan. Contoh: http://www.elevenia.co.id/ctg-tas-aksesoris
7. Kualitas tulisan adalah faktor yang diutamakan (Poin-poin penilaian bisa dilihat pada tab “Ketentuan Penilaian”).
8. Penyertaan ilustrasi, gambar, foto atau video yang sesuai dengan materi tulisan, dapat menjadi nilai tambah.
9. Materi tulisan harus merupakan hasil karya peserta sendiri dan bukan merupakan plagiat, terjemahan atau adaptasi dari sumber lain. Hak kekayaan intelektual dan/atau hak cipta materi ilustrasi, gambar, foto atau video harus sepenuhnya milik peserta.
10. Materi tulisan tidak boleh mengandung unsur SARA, Pornografi, hasutan negative, unsur tindakan yang melanggar hukum atau hal lain yang melanggar syarat dan ketentuan elevenia.
11. Materi tulisan harus belum pernah dipublikasikan dan/atau diikutsertakan dalam kompetisi lain.
12. elevenia tidak bertanggung jawab atas segala klaim, keluhan, tuntutan, dan/atau gugatan atas materi tulisan yang diikut sertakan dalam kompetisi ini.
13. Publikasi materi tulisan dilakukan di media blog Pribadi yang menggunakan nama domain sendiri dan/atau menggunakan domain blogspot & wordpress.


Syarat dan Ketentuan

1. Peserta harus berusia 17 – 55 Tahun.
2. Peserta adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan memiliki KTP yang masih berlaku.
3. Tiap peserta boleh mendaftarkan lebih dari 1 blog/domain dengan ketentuan 1 blog/domain per materi tulisan. Tidak diperkenankan mendaftarkan lebih dari 1 blog/domain untuk materi tulisan yang sama.
4. Blog yang diikut sertakan harus aktif minimal 3 bulan dengan update post terakhir setidaknya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal kompetisi.
5. Tidak diperkenankan menggunakan blog yang memiliki kandungan materi Pornografi ataupun SARA.
6. Materi tulisan pemenang akan menjadi hak milik elevenia. Setelah kompetisi berakhir, pemenang dilarang mengedit atau menghapus artikel. Dalam hal adanya temuan pelanggaran ketentuan ini, Panitia berhak sepenuhnya untuk membatalkan keputusan pemenangan, membatalkan dan/atau menarik kembali hadiah, dan memilih pemenang baru.
7. Tautan atau Hyperlink yang dipasangkan pada tulisan harus dibiarkan menyala secara permanen. Para pemenang akan menandatangani surat perjanjian bermaterai yang menyatakan bahwa pemenang tidak akan menghapus atau mengedit artikel yang buat, serta tetap membiarkan tautan selalu aktif selama setidaknya 2 tahun kedepan. Dalam hal adanya temuan pelanggaran ketentuan ini, Panitia berhak sepenuhnya untuk membatalkan keputusan pemenangan, membatalkan dan/atau menarik kembali hadiah, dan memilih pemenang baru.
8. Peserta yang melanggar syarat dan ketentuan akan secara otomatis terdiskualifikasi dari kompetisi.
9. Registrasi yang dilakukan pada “Formulir Registrasi” harus menggunakan alamat email dan nomor telepon yang terdaftar saat pendaftaran keanggotaan.
10. Timeline elevenia Blog Competition adalah sebagai berikut:
Periode pengumpulan hasil karya tulis : 6 Maret – 5 April 2017
Pengumuman Pemenang : 20 April 2017
11. Keputusan Juri adalah final dan tidak bisa diganggu-gugat.
12. Setiap pemenang yang terpilih pada elevenia Blog Competition akan diumumkan di Blog elevenia, dan akan dihubungi melalui email dan/atau telepon.
13. 1 Peserta hanya boleh dapat menag untuk 1 kategori saja.
14. Hadiah akan ditransfer ke rekening pemenang kompetisi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Panitia.
15. Pajak hadiah ditanggung oleh para pemenang.
16. elevenia Blog Competition tidak berlaku untuk karyawan dan/atau keluarga karyawan elevenia atau pihak ketiga yang turut terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi ini.


Ketentuan Penilaian

1. Materi tulisan akan dinilai berdasarkan:
Korelasi antara isi tulisan dengan poin-poin topik penulisan yang telah ditentukan.
Korelasi antara judul dengan isi tulisan.
Meteri tulisan yang unik.
Gaya penulisan yang baik dan menarik.
Penggunaan tata Bahasa yang baik dan tepat guna.
Kreativitas dan keterampilan peserta dalam menulis.
2. Penggunaan ilustrasi, gambar, foto atau video yang menjadi nilai tambah dalam penjurian.
3. Hasil karya tulis mengandung nilai-nilai moral yang bisa memotivasi atau menginspirasi pembaca.
4. Alur narasi tulisan yang jelas dan mudah dicerna oleh pembaca.
5. Hasil karya tulis telah sesuai pada syarat dan ketentuan serta teknis penulisan yang telah ditentukan.

Hadiah Pemenang

Juara 1 : Rp. 10.000.000
Juara 2 : Rp. 7.000.000
Juara 3 : Rp. 5.000.000
8 Juara Kategori : @Rp. 1.000.000

Sumber: http://www.elevenia.co.id/promo-lomba-blog-896974


Cerpen Maltuf A. Gungsuma



Malam ini begitu sunyi. Bukan hanya malam ini, tapi juga malam-malam sebelumnya. Tidak ada yang menyapa atau berkenan mengetuk pintu. Semua seakan menginginkanku berdiam sendiri di kamar ini.

Bermula sejak kepulanganku dari kota seberang, semua penghuni rumah ini seperti mayat hidup yang gentayangan tiap hari dan malam. Membisu, dan tidak mau menyapaku. Mungkin lebih tepatnya, mereka mirip zombi. Ya, sangat mirip zombi.

Tiap hari bapak selalu duduk di kursi kayu ditemani kopi dan beberapa batang rokok di atas meja di sampingnya. Wajahnya pucat, begitu pula dengan bibirnya. Tatapannya selalu kosong ke depan. Kadangkala beberapa tetes air mata jatuh membasahi jas hitamnya yang sudah lusuh. Sedangkan ibu di dapur membunyikan piring, gelas, cobek, pisau, ikan digoreng, dan sesekali isak tangis terdengar. Aku tidak mengerti, mereka seperti zombi yang tidak pernah ingin berbagi. Bahkan, mereka tidak lagi memanggilku untuk makan bersama, hanya menyisakan sepiring nasi di meja makan dan meninggalkan secarik kertas kalau masakan itu untukku.

Jujur, aku pulang bukan karena paksaan dari bapak yang menginginkanku menikah dengan seorang perempuan pilihannya. Bukan juga kasihan sama ibu yang selalu menangis memaksaku segera pulang karena sudah kepalang rindu. Menurutku, itu semua hanya penyakit orang tua saja yang terlalu khawatir pada anak semata wayangnya. Aku pulang karena sangat merindukan cerita seorang cerpenis yang lahir dari desaku ini. Ya, sudah lama tidak membaca cerpennya di koran minggu. Ceritanya menghilang sejak April tahun lalu. Aku takut ia pensiun dini menjadi penulis.

Namanya Niken Larasati, aku sangat menyukai ceritanya, mungkin kau juga akan begitu bila pernah membacanya. Alur ceritanya cantik dan manis. Sangat nikmat membacanya di pagi hari ditemani segelas kopi. Tapi yang membuatku kesepian beberapa bulan ini, cerpennya tidak lagi muncul di koran minggu. Aku sangat merindukannya, sampai aku memutuskan pulang dari rantau dan ingin membantunya menemukan cerita untuk dituliskannya. Mungkin imajinasinya lagi buntu. Seperti kebanyakan para penulis, kadangkala mengalami ide buntu, kemudian mencari pencerahan dengan berbagai cara, upaya, dan juga beberapa tingkah konyol.

Mungkin kau pernah dengar tentang penulis yang mengaku tidak pernah bisa menulis tanpa merokok. Bukan kebiasaan bagus memang—seperti tertulis di bungkusnya—banyak penyakit yang akan ditimbulkan dari asap rokok, tapi memang begitu pengakuan penulis itu, penggiat anti asap rokok dilarang protes kalau tidak mahu diprotes balik olehnya. Kemungkinan seperti ini balasan dari penulis itu, “Hai pegiat anti asap rokok, Anda melarangku merokok berarti Anda sudah siap menggantikan rokok dalam hidupku? Memberiku ispirasi untuk bahan tulisan-tulisanku, menemani hidupku siang dan malam sesetia rokok padaku?” Hahaha, penulis kok dilawan!?

Malam ini, malam pertama ingin memberi inspirasi buat Niken, aku berharap ia lewat di depan rumahku. Jalan desa tepat di depan rumahku memang menjadi jalan satu-satunya baginya untuk bepergian ke pasar dan ke kota, ataupun sebaliknya. Dulu, aku sering berpura-pura melempar bola ke jalanan, kemudian bergegas memungutnya kembali ketika ia mau melintas depan rumahku. Saat itulah aku menyapanya atau sekedar melempar senyum ke arahnya. Waktu itu aku belum tahu ia penulis cerita yang pernah menulis tentangku sebagai si lelaki yang suka melampar bola ke jalanan. Ternyata ia mengerti, bahwa sebenarnya bukan bola yang ingin aku lemparkan, tapi rindu yang ingin diobati dengan bertemu dengannya.

Setelah sekian lama tidak pernah melihat sosoknya, mungkin malam ini aku bisa mengobati rinduku. Kalau benar ia lewat depan rumahku malam ini, aku berharap ia melihat ke jendela dimana aku akan berdiri. Kamarku ini berada di lantai dua tepat menghadap jalan. Tentu ia akan sangat gampang menemukanku disini.

Aku menyingkap gorden, membuka lebar-lebar jendela dan membiarkan angin dingin malam menerobos masuk. Sinar rembulanpun ikut berjubel masuk. Daun-daun pepohonan ikut membuat bayang-bayang keindahan malam. Sengaja aku ciptakan keindahan suasana ini untuk memberinya inspirasi tentang lelaki yang berdiri di balik jendela. Aku ingin ia menceritakan tentangku lagi. Menceritakan tentang lelaki yang kesepian, memandangi rembulan dari balik jendela. Ah, itu hanya sebatas imajinasiku saja, tentu ia sebagai penulis lebih tajam imajinasinya dari padaku.

Aku berdiri di balik jendela dan sorot bola mata aku arahkan ke jalanan. Sesekali pejalan kaki melintas, juga pemotor, pesepeda dan penjual gorengan keliling. Sesekali juga jalanan lengang. Aku terus mengamati dan memicingkan mata ketika ada perempuan yang melintas. Aku selalu berharap ia yang melintas dan memalingkan mukanya ke arahku. Tapi semakin malam semakin larut, ia belum saja melintas. Aku tetap berdiri dari balik jendela, menunggu sampai akhirnya ia benar-benar lewat di depan rumahku. Ya, itu sosoknya menoleh ke arahku, ia tampak terpaku sebentar, kemudian bergegas pergi. Mungkin ia terburu-buru ingin menuliskannya. Aku tersenyum. Ia benar-benar mendapat inspirasi.

Hanya itu? Ya, hanya itu yang aku tunggu berjam-jam di balik jendela ini.

***



Siang ini tapi bukan malam, hanya gelap saja suasana. Awan tebal menyelimuti alam. Halilintar menyambar-nyambar menggetarkan kaca jendela. Angin gemelisir tipis mendayu-dayu. Tetes air hujan mulai berjatuhan. Kadangkala tetes-tetes itu membentur jendela, terbawa angin. Menempel pada kaca jendela, mengkristal dan meleleh satu-persatu. Sepertinya hujan akan lebat siang ini.

Benar saja, tidak berselang lama, hujan lebat pun turun menghujam bumi. Angin gemelisir kini menjelma angin setengah badai. Merontokkan daun-daun mangga dan jambu air ke tanah, serta sesekali reranting kecil berjatuhan. Suasana di luar terasa sangat mencekam.

Biarpun begitu, ingin sekali aku menembus hujan itu dengan payung hitam menyusuri jalanan. Sepertinya akan jadi panorama yang menawan. Tapi kau jangan skeptis dulu, coba kau bayangkan; lelaki tampan sepertiku, tubuh tinggi kekar nan atletis, serta kulit putih halus, menembus hujan lebat dengan payung hitam. Oh, senyum apapun pasti akan kau berikan untuk memikatku memberi tumpangan payung padamu. Sudahlah, tidak perlu malu untuk mengakui, mengamit tangan kekarku pasti kau idamkan.

Tiba-tiba aku teringat seseorang, yang membuatku bergegas mengambil payung hitam yang menggantung di tembok ruang tamu dan segera keluar rumah. Angin kencang langsung memburuku, air hujan menghantam. Payung hitam terhuyung-huyung terbawa angin, aku berusaha mencekalnya sekuat tenaga. Kini, diantara tetes hujan yang membentur payung hitam dan berjatuhan, kau bisa saksikan sosokku yang rupawan.

Aku berjalan menyusuri jalanan yang tergenang. Sungguh aneh, tiada percikan air pada setiap langkahku, air tergenang selalu tenang mengalir. Ah, begitulah air; kadangkala air bertingkah di luar nalar, seperti dulu saat aku mengalirkan perahu kertas, ia hanya berputar-putar di tempat. Air beriak berarti tak dalam, air diam berarti ada rahasia terpendam.

Apakah kau telah menebak kalau aku melangkah hendak kemana? Rumah Niken, ya, rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Hanya melewati tiga pos ronda, dua belokan, setelah itu akan menjumpai bangunan sekolah dasar, di samping sekolah itulah rumah Niken berdiri dengan tembok warna kuning dan coklat. Pohon bunga sepatu berjejer membentuk pagar hidup di depan rumahnya, dengan setinggi dada orang dewasa. Sekarang aku sudah melewati pagar itu dan berdiri di depan rumahnya. Warna tembok rumahnya sudah memudar.

Hujan masih lebat, rumah Niken tertutup rapat. Aku mengitari rumahnya mencari sebuah jendela, masih dengan payung hitam di genggamanku. Tiada lain, jendela itu di kamar Niken, jendela yang selalu aku intip dulu dari atas pohon jambu di samping bangunan sekolah setiap pagi sebelum jam sekolah. Berharap ia sedang buka jendela lebar-lebar dan menggeraikan rambut lurusnya. Sekarang, aku mengetuk tiga kali jendela itu, kemudian menjauh sepuluh langkah ke belakang.

Perlahan jendela terbuka, Niken muncul sambil mengusap-usap matanya, sepertinya ia baru saja tertidur. Rambutnya tergerai berantakan. Tidak terlalu sulit ia menemukan keberadaanku. Aku tersenyum ke arahnya. Tampak ia memicingkan matanya, mengusap-usapnya kembali, mungkin ia ingin memastikan kalau itulah aku.

“Kau Sulaiman?” sapanya pelan, memastikan.

Aku mengangguk.

Ia memandangi lekat-lekat tubuhku, dari ujung kaki sampai ujung payung yang aku pegang. Tiba-tiba bergegas ia menutup jendela. Mungkin ia ingin cepat-cepat menuangkannya ke dalam cerita, tentangku, tentang lelaki hujan dengan payung hitam di genggamannya. Mungkin saja ia akan membumbui ceritanya dengan seorang perempuan yang selalu memohon hujan hanya untuk bertemu dengan lelaki itu dan mengamit tangan kekarnya berkeliling desa. Sungguh indah!



***

Malam ini sungguh pekat, tiada bulan, hanya beberapa bintang mengerling dari kejauhan. Tiada suara apa-apa, senyap. Bahkan, yang tadinya terdengar suara televisi, sekarang tidak lagi, membuat malam semakin sunyi. Ibu dan bapak sudah menutup pintu kamar mereka rapat-rapat. Tinggal aku sendiri. Ya, seperti malam-malam sebelumnya, selalu terjaga, rasa kantuk tidak pernah menghampiriku.

Tiba-tiba terdengar samar suara kaki melangkah mendekati pintu. Kemudian, tiga kali ketok pintu terdengar.

“Siapa ya?” suara ibu sambil melangkah ke arah pintu.

“Niken, Bi!”

Aku pun terkejut mendengar suara itu. Bergegas aku keluar kamar dan mengintipnya dari tepi tangga. Tampak ibu membukakan pintu.

“Niken, ayo masuk,” sambut ibu saat mendapati Niken sudah berdiri di depan pintu.

“Kamu sendirian kesini?”

“Iya Bi, terburu-buru kesini.”

“Tumben malam-malam kesini, ada apa, Nduk?”

“Ada hal penting yang harus saya sampaikan sama Bibi.”

“Apa itu?” ibu menimpali.

“Tentang Almarhum Sulaiman, Bi.”

Sontak aku terkejut mendengarnya. Jadi, aku sudah meninggal?

“Ya, sampai sekarang aku masih merasakan kehadirannya di rumah ini,” urai ibu dengan suara serak. “Ia tidak benar-benar pergi. Angan-angannya sangatlah besar terhadapmu. Perlu kamu ketahui, Niken, ia pulang hanya ingin menemuimu. Ia selalu menceritakannya padaku, bagaimana ia ingin sekali membantumu menuliskan cerita. Tapi kecelakaan itu telah memusnahkan angan-angannya. Mungkin gara-gara itu arwahnya masih gentayangan ingin menemuimu.”

“Apa yang harus aku lakukan, Bi?”

“Buatlah cerita untuknya!”

Ternyata aku sudah tidak punya air mata untuk menangis.

(Jalan Panjang Menulis Cerita Pendek)
Esai Maltuf A. Gungsuma



     Menulis cerpen (cerita pendek) ibarat menciptakan sebuah kehidupan yang rumit dengan sekilas kisah yang mengatur gerak-gerik tokoh-tokohnya. Kemanapun arah cerita akan digiring, disitulah jari-jari cerpenis mengaturnya. Selama cerpenis menjalankan jemarinya, selama itu pula cerita berlanjut. Begitu jemarinya berhenti, berhentilah cerita. Entah cerita tersebut sudah mencapai penutup (ending) atau si cerpenis menemui jalan buntu untuk melanjutkan ceritanya.
     Andaikan saja cerpenis tidak membutuhkan pembaca, kebahagiaan cerpenis sudah mencapai klimaks sesaat setelah cerpennya selesai ditulis. Akan tetapi tidak demikian, ada tokoh lain yang ia pikirkan diluar alur cerita dalam cerpennya, yaitu calon pembaca ceritanya. Hal ini yang seringkali membuat cerpenis gamang. Tokoh ini begitu liar, seringkali berpikir diluar dugaannya. Lantas cerpenis mengatur pembunuhan si pembaca menggunakan cerpen yang ia tulis. Maka ia pun membekali para tokoh dalam cerpennya dengan berbagai jurus mematikan untuk melumpuhkan pembaca. Bagi seorang cerpenis, “Aku Menulis Maka Aku Membunuh”.
     Sekiranya ada tiga model cerita yang seringkali ditulis cerpenis. Pertama, cerpen yang menceritakan kehidupan sosial di sekelilingnya, baik itu diangkat dari kisah nyata maupun hanya berupa hasil imaji liar cerpenis yang tanpa batas. Imaji liar tanpa batas cerpenis seringkali melampaui sekat ruang dan waktu. Kedua, cerita epik. Cerpen jenis epik biasanya berdasarkan sejarah masa lalu yang dihadirkan kembali dengan tanpa menghilangkan ciri khas pada masanya bahkan dialog para tokoh pun diintegrasikan dengan tokoh yang sebenarnya. Majalah Annida sebelum dionlinekan pernah memberikan rubrik khusus untuk cerpen yang berjenis epik, biasanya bercerita tentang kerajaan-kerajaan terdahulu atau masa penjajahan kolonial.
     Ketiga, cerpen fabel. Cerpen yang berjenis fabel ini menggunakan tokoh dalam cerita berupa binatang yang bisa bicara layaknya manusia. Banyak kreativitas cerpenis pada jenis ini, seperti menjadikan binatang sebagai tokoh utama dan manusia sebagai antagonis dan bisa juga sebaliknya. Memang pada mulanya cerita fabel merupakan sebuah dongeng yang biasa diceritakan pada anak-anak, tapi pada perkembangannya banyak cerpenis menuliskannya dengan berbagai genre sesuai kreasi dan nalarnya.
     Lantas, apapun minumnya, kopi menjadi sahabat paling setia cerpenis dalam menemaninya berkarya. Tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan, apapun jenis cerpen yang ditulis cerpenis kalau tidak bisa menggunakan jurus berubah wujud menjadi pembaca, maka ia sendiri yang akan terbunuh. Memposisikan diri menjadi pembaca ketika menulis menjadi sangat penting dilakukan oleh seorang cerpenis, terutama ketika proses editing.
     Sekiranya ada beberapa jurus yang dilakukan cerpenis untuk membunuh pembaca. Pertama, mempercantik pragraf pertama cerpennya. Ada beberapa alat make up yang biasanya sering digunakan, seperti deskripsi ciamik, dialog ambigu dan bunyi yang menyentak. Mari kita bahas satu persatu. Pada deskripsi ciamik dibuat dengan mendeskripsikan suasana atau keadaan dengan begitu jelas, lugas dan menggiurkan. Jelas dan lugas masih terlalu mudah untuk dibuat, tapi untuk menjadikannya menggiurkan merupakan pekerjaan sulit, karena semakin besar kalimat yang menggiurkan bagi pembaca maka semakin besar pula pembaca akan meneruskan pada pragraf selanjutnya. Sebagai contoh pada pembukaan cerpen saya dengan judul Meisa dan Ular di Lehernya yang sudah dimuat di Suara Merdeka di bawah ini:
                Lihat perempuan itu, bukan emas atau berlian di lehernya, tapi ular. Ia memang cantik, semua pemuda disini tahu itu dan berdecak kagum setiap melihatnya melintas di jalanan desa. Tapi kau mesti tahu kalau ular di lehernya itu berbisa. Dan yang sangat mengerikan lagi, ular itu hanya patuh pada majikannya.
     Pada dialog ambigu yang saya maksudkan adalah membuat suatu dialog pada pragraf pertama yang antara dimengerti dan tidak sangat sulit dibedakan oleh pembaca. Misalkan seorang cerpenis menulis pembuka dengan dialog “Bodoh!”. Ya, kata “bodoh” dimengerti tapi siapa yang bodoh dan kenapa berteriak demikian? Tentu itu yang tidak dimengerti oleh pembaca yang akan menggiringnya untuk membaca pada pragraf selanjutnya dan selanjutnya.
     Sedangkan untuk bunyi menyentak berupa bunyi-bunyi benda maupun juga suara hewan suatu tragedi atau konflik di awal cerita. Misal yang sering kita jumpai bunyi bom, tembakan, tabrakan, ketokan pintu dan semacamnya. Bunyi atau suara yang menyentak tersebut tentu membuat gairah pembaca untuk mengetahui tragedi apa yang terjadi.
     Kedua, permainan alur, entah linear atau maju-mundur (flashback). Jurus ini biasanya digunakan cerpenis sesuai karakternya. Kadangkala seorang cerpenis lebih cocok membuat cerpen dengan linear dan ada pula yang sebaliknya. Dari dua jalan ini terdapat kekuatan dan kelemahannya masing-masing, tergantung kepiawaiannya merangkai cerita sesuai karakternya dan selanjutnya pembacalah yang akan merasakannya.
     Ketiga, penentuan penutup (ending). Tidak elok rasanya bila seorang cerpenis mengabaikan ending sebuah cerita, padahal pembaca sudah di titik sekarat tapi cerpenis tidak mengambil kesempatan itu untuk membunuhnya. Sungguh pekerjaan sia-sia mengeluarkan segala macam jurus dari awal ketika cerpenis membiarkan pembaca selamat meloloskan diri dari jebakan di ending cerita. Hal ini sangat penting untuk memberikan kesan pada karya cerpenis selanjutnya bagi pembaca.
     Jurus-jurus selanjutnya mungkin saja masih tersisa yang perlu kita bicarakan, tapi sayangnya saya perlu bertapa kembali untuk mempelajarinya. Atau ada dari kita yang baru saja menemukan kitab sakti Wasiat Iblis Wiro Sableng? Mari kita berdiskusi!

Jogja, 26 Februari 2017
*)Tulisan ini tidak berdasarkan literatur manapun, hanya berupa serpihan-serpihan dari perjalanan kepenulisan penulis yang dipaksakan untuk disampaikan pada diskusi rutin Komunitas Menulis Pinggir Rel (MPR) pada 26 Februari 2017 di Warkop Blandongan Cafe Jogja.

Cerpen Maltuf A. Gungsuma
(Cerpen ini telah dimuat di Suara Merdeka 25 Januari 2015)


Lihat perempuan itu, bukan emas atau berlian di lehernya, tapi ular. Ia memang cantik, semua pemuda disini tahu itu dan berdecak kagum setiap melihatnya melintas di jalanan desa. Tapi kau mesti tahu kalau ular di lehernya itu berbisa. Dan yang sangat mengerikan lagi, ular itu hanya patuh pada majikannya.
“Meisa, ada banyak lelaki ingin mengalungkan berlian di lehermu, tapi selalu terhalang sama ular itu.”
Ya, perempuan itu bernama Meisa. Ibunya selalu menasihatinya begitu.
“Biarkanlah Ibu, suatu saat pasti akan ada lelaki yang bisa menjinakkan Dirga,” tukas Meisa meyakinkan. Dirga merupakan nama ular itu. Dirga bergelayut di dada Meisa, mendesis dan merayap ke sebelah kiri lehernya. Meisa mengerti kalau Dirga tidak terima kalau harus berpisah dengan dirinya. Lantas Meisa mengelus lembut kepala Dirga, sementara Dirga menjulur-julurkan lidahnya pada daun telinga Meisa. “Bukankah Ibu sering mengatakan kalau jodoh tidak akan kemana? Dan siapa tau, kalau misalnya Dirga yang jadi jodohku.”
“Hus, itu ular Nak, kualat kamu!”

*****

“Skak-mat!” Ster sudah berada di garis lurus dimana raja lawan berada, dan benteng berada lurus di sebelahnya. Marwi memenangkan perlawanan Kardi yang berusaha keluar dari tekanan sejak paroh pertandingan. “Ah, belum ada yang bisa menandingiku,” seloroh Marwi.
“Kalau sama perempuan itu, Wi?”
Marwi menoleh ke arah perempuan yang dimaksud Kardi. Tampak Meisa lewat di samping gardu ronda dengan menenteng kotak kayunya. Perempuan itu tampak lusuh dengan Dirga yang setia melingkar di lehernya. Sore hari menjelang petang, begitulah kira-kira yang selalu ditandai Marwi dan Kardi, Meisa akan selalu lewat di jalan itu, pulang dari pasar Ganding.
“Hah, perempuan yang sulit aku taklukkan dengan berbagai langkah mematikan sekalipun!”
“Hahaha, bahasamu berlebihan, padahal belum ada usaha apa-apa!”
Lantas dua pemuda itu tertawa.
“Aku dengar-dengar, hari Senin besok Meisa buat sayembara di pasar?”
“Sayembara apa?” Kardi balik bertanya, mengernyitkan dahi.
“Katanya, siapapun yang bisa menaklukkan Dirga, kalau laki-laki, berhak mengalungkan kalung di leher Meisa sebagai petanda kalau Meisa bersedia menjadi istrinya. Sedangkan kalau perempuan, Meisa akan memberikan hadiah kalung emas berlian miliknya.”
“Hahaha, jangan-jangan kalung itu pemberian Badi!”
“Memang begitu, kalung itu tidak sanggup meluluhkan hati Meisa untuk melepaskan Dirga dari lehernya. Tapi Badi tidak memintanya kembali, dia meminta Meisa menyimpannya walaupun tidak bersedia memakainya.”
“Berarti kamu akan dapat saingan berat besok.”
“Iya benar kamu Kar, Badi memang lihai menaklukkan ular-ular berbisa, aku yakin dia bisa memenangkan sayembara ini. Tapi semua hal bisa terjadi, apa lagi selama ini Badi belum bisa menaklukkan Dirga.”
*****
Mentari kian meninggi, pagi ditinggal embun pergi. Bau amis ikan, daging-daging, dan keringat manusia bercampur aduk. Lalu lalang manusia berseleweran di jalan-jalan sempit pasar Ganding. Berdesak-desakan. Mata liar pencopet mengintai. Tangis histerispun pecah ketika sadar barang berharganya raib, entah kemana. Ada yang peduli dengan menghiburnya, ada pula yang hanya melihat iba dan berlalu.
Di sebuah sudut pasar, di samping lahan parkir kendaraan, sekerumunan manusia berdiri menyaksikan sebuah pertunjukan. Ya, disanalah Meisa melakukan sayembara yang tidak lebih hanya sensasi untuk mendapatkan penghasilan. Siapapun yang ikut dan menonton sayembara itu harus membayar sejumlah uang yang sudah ditentukannya. Di antara kerumunan itu sudah hadir Badi, Marwi dan Kardi yang mengantri mendapatkan kesempatan mencoba peruntungan.
Tiba-tiba seorang lelaki terpelanting mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang bertato ular itu luka kecil, Dirga berhasil mematoknya. Lelaki itu langsung dibawa pergi sama temannya.
“Meisa, tidak sadarkah kau telah melukai banyak orang demi kesenanganmu sendiri? Hentikan kekonyolanmu ini!” teriak Badi yang sudah berdiri tepat di depan Meisa.
“Kamu tidak terima aku buat sayembara kayak gini atau karena lamaranmu aku tolak, hah?” tanya Meisa sinis. Mata Badi memerah, diam. “Atau kamu mau mencoba menaklukkan Dirga? Katanya kamu itu pawang ular terhebat di desa ini, iya kah?” tambahnya.
“Oke, aku terima tantanganmu, tapi pakai dulu kalung pemberianku itu.”
“Oh tidak, taklukkan dulu Dirga, baru kau yang kalungkan sendiri ke leherku!”
“Baiklah!”
Badi maju berapa langkah mendekati Meisa. Ia tatap lekat-lekat mata Dirga. Mata itu sangat tajam, mata yang berisyarat tidak mau tunduk sama siapapun.
Badi mencoba menangkap kepala Dirga dengan kecepatan tangannya, tapi Dirga dengan gesit menghindar dan menyerang balik. Hampir saja Dirga berhasil mematok tangan kanan Badi kalau saja Badi kurang cepat menarik tangannya itu. Ketika itulah, Badi punya kesempatan untuk menangkap kepala Dirga dengan tangan kirinya. Hap, Badi berhasil menangkap kepala Dirga. Semua yang menyaksikan itu tepuk tangan.
Tiba-tiba tanpa dinyana, ekor Dirga bergerak cepat dan mematok tangan Badi. Sontak Badi terkejut dan melompat ke belakang. Terjatuh. Semua orang terperangah menyaksikan itu, ternyata Dirga juga punya ekor tajam yang juga berbisa. Meisa tersenyum sinis, “Badi, Badi!”
Marwi dengan sigap menolong Badi yang mengerang kesakitan. “Tidak apa-apa, saya bisa tangani ini sendiri. Saya punya obatnya.”
Badi mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya. Sebuah jimat berbentuk sabuk ia kasihkan ke Marwi dan memakaikannya. Badi membisikkan sesuatu di telinga Marwi. “Oke, semoga berhasil!” Badi menepuk pundak Marwi. Marwi mengangguk.
“Meisa, aku ikut!”
“Oke, silahkan mendekat!”
Marwi mendekat dan mencoba komunikasi sama Dirga. “Saya minta satu syarat ke kamu, kalungkan kalung pemberian Badi di lehermu, sebagai bentuk penghormatan padanya yang sanggup menangkap kepala Dirga.”
“Iya betul, kasian dia,” celetuk Kardi.
“Iya, hormati keberhasilannya!” celetuk yang lain.
Meisa mengernyitkan dahi kemudian mengangguk. “Oke, hanya sebatas penghormatan atas keberhasilannya itu!”
Meisa mengeluarkan kalung itu dari kotak kayunya dan memakainya. Ia tidak sadar kalau kalung itu mempunyai kekuatan sakti yang bisa menaklukkan Dirga. Hanya saja Badi tidak pernah berhasil mengalungkannya di leher Meisa. Benar saja, setelah kalung emas berlian itu melingkar di leher Meisa, tiba-tiba Dirga perlahan melepas diri dari leher Meisa, bergelayut turun ke tanah dan menghampiri Marwi. Marwi mundur berapa langkah sampai di samping Badi.
“Jangan takut, ia tunduk padamu, ambil saja!” seru Badi.
Dengan ragu-ragu Marwi mengambil ular itu dan memberanikan diri mengalungkan ke lehernya. Meisa tidak percaya dengan kenyataan di depannya itu. Dengan gampangnya ia masuk perangkap Marwi. Ia pun tidak bisa melepas lagi kalung yang melingkar di lehernya itu. Kalung itu seakan menyatu dengan lehernya.
“Kalung itu hanya bisa dibuka oleh kamu,” ucap Badi pada Marwi.
“Kamu licik!” teriak Meisa pada Marwi.
“Ini sayembara, yang menang yang benar.”
“Oke, aku mengakui kamu menang dan aku bersedia menjadi istrimu!”
Semua tepuk tangan dan tersenyum lebar.
*****
Hiburan gamelan sudah usai, tamu-tamu undangan dan warga sekitar sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Malam kembali senyap. Udara dingin malam menyusup di sela-sela jendela kamar pengantin itu. Ya, inilah malam pertama pernikahan Marwi dan Meisa.
“Letakkan Dirga di meja itu, Marwi!” Meisa berbisik mesra di telinga Marwi yang memeluknya. “Mari kita nikmati malam ini berdua!”
Marwi tersenyum dan menuruti kata istrinya itu. Dirga juga menuruti perintah majikannya dengan melingkar di atas meja.
Marwi kembali memeluk mesra Meisa. Membelai rambut lurusnya. Menuntunnya ke tempat tidur. Malam ini ia merasa Meisa lebih cantik dari sebelumnya. Meisa yang harum tubuhnya.
“Apakah kau bahagia malam ini, Meisa?”
“Siapapun pasti sangat bahagia di malam pertama pernikahannya, Marwi,” jawab Meisa dengan lembut. “Kau juga pasti begitu. Tapi ada satu hal yang membuat kebahagiaan ini tidak sempurna,” lanjutnya menggantung.
“Apa itu, Meisa?”
“Kau belum memenuhi janjimu memberiku kalung emas berlian.”
“Ohya, aku lupa, aku sudah membelikannya untukmu, aku ambil dulu.”
Marwi beranjak dan bergegas menuju lemari baju. Di sela tumpukan baju-baju diambilnya sebuah kotak kecil. Di dalamnya itu tersimpan sebuah kalung emas berlian yang tidak kalah dengan pemberian Badi pada Meisa sebelumnya.
“Meisa, kalung ini sangat berharga bagiku, hanya kau yang pantas memakai kalung ini.”
“Iya, kalung ini sangat indah. Aku suka, aku sayang kamu,” ucap Meisa sambil mengecup tangan Marwi dan kalung itu. “Pakaikan segera di leherku, Marwi!”
Marwi melepas kalung pemberian Badi dan meletakkannya di samping tempat tidur. Kemudian Marwi mengalungkan kalung miliknya di leher Meisa. “Kau sangat cantik dengan kalung ini, Meisa!”
Meisa tersenyum, Marwi mengecup keningnya. Tapi tiba-tiba Dirga sudah melilit di leher Marwi. Meisa yang tidak lagi memakai kalung pemberian Badi dengan diam-diam memerintahkan Dirga untuk membunuh Marwi. Meisa mendorong tubuh Marwi dengan keras dan menjauh dari tempat tidur.
“Terkutuk kau, Meisa!” erang Marwi.
Marwi berontak, mencoba melepas lilitan Dirga di lehernya. Tapi Marwi semakin tak berdaya ketika Dirga mematok lehernya. Kemudian bertubi-tubi Dirga mematok dahi, mata, pipi, telinga, dan bagian lainnya. Sampai akhirnya Marwi tidak sadarkan diri. Meisa tersenyum puas.
“Bagus Dirga!” ucap Meisa sambil mengambil ular itu, membelainya, dan melilitkannya di leher.
Dirga bergelayut mesra dan menjilat-jilat pipi Meisa. Tapi entah kenapa, lilitan Dirga semakin kencang dan keras di leher Meisa. Menyadari itu, Meisa meronta dan berusaha melepas lilitan Dirga. Tapi usahanya sia-sia, Dirga semakin membuat Meisa tidak bisa bernapas dan sampai benar-benar tidak bisa bernapas lagi. Roboh. Meja dan kursi berantakan.
Dirga merayap di atas tubuh Meisa, melewati celah jendela dan pergi meninggalkan kamar pengantin itu.
Entah bagaimana ceritanya, Dirga sangat senang melilit di leher majikannya. Tentang siapa yang akan menjadi majikannya setelah Meisa dan Marwi, tiada yang tahu. Tapi ia merayap ke arah timur.

Yogyakarta, Nopember 2014