Perempuan Beo

by 01.56 0 komentar

Cerpen Maltuf A. Gungsuma
 (Cerpen ini dimuat di Minggu Pagi No. 23 Th. 65 Minggu II September 2012)

Aku tahu kau mencintaiku. Menyayangiku apa adanya. Ingin menjadikan aku ayah bagi anak-anakmu. Tapi jujur, aku cemburu pada beo yang selalu kau ajak bersenda gurau di waktu soremu. Kau selalu berkilah ketika aku ajak jalan ke pantai menikmati sunset. Waktu soremu tidak pernah kau berikan padaku. Kau biarkan kesunyian menemani soreku di balik jendela.
Nila, aku mencintaimu. Menyayangimu apa adanya. Persis, aku juga ingin menjadikanmu ibu bagi anak-anakku. Tapi aku tidak suka kau membagi cintamu pada beo. Menjadikan aku yang kedua yang kau cintai. Bahkan, sepertinya kau sudah melebur dalam sayapnya. Beterbangan dalam kehidupannya. Menjadi betina bagi burung peliharaanmu itu.
Aku semakin tidak mengerti dengan sikapmu. Kau ingin aku memahamimu, tapi kau tidak pernah memahamiku. Satu sore aku ajak kau menemani kejenuhanku, kau tidak mau. Malah kau menawariku bermain dengan beo kesayanganmu itu. Padahal, beo merupakan burung yang paling aku benci, melebihi benciku pada Maya, perempuan yang pernah menghianati cintaku itu. Burung beo menjadi biang kehancuran keluargaku. Karena burung itu ayah menceraikan mama, Nila!
Ah, kejadian itu sangat aku inginkan untuk melupakannya. Membuang jauh-jauh kenangan pahit itu. Tapi tidak mungkin bila kau selalu merawat burung beo. Aku akan selalu mengingat mata merah ayah saat bertatapan dengan mata burung itu. Terngiang kembali bertengkaran malam itu bila mendengar  kicaunya. Apalagi sampai menemani kita di kamar pengantin nanti. Aku tidak bisa membayangkan malamku bersamamu seperti apa.
*****
Seperti sore itu, aku mengetuk pintu, seperti biasa Nila tidak membukakannya sampai aku mengetuk berkali-kali. Andai pintu tidak terkunci, mungkin dia akan tetap di depan sangkar burung beonya itu sambil teriak, “Masuk….tidak dikunci…”
Aku masuk dan Nila kembali lagi duduk menghadap sangkar burungnya. Sesekali burung itu berbunyi atau lebih tepatnya bersuara layaknya manusia dan sesekali juga Nila menyahutnya. Seakan mereka memperbincangan sesuatu. Tapi entah . .!
“Sampai kapan kau seperti ini Nila?”
“Sampai takdir memisahkan kami,” jawabnya ketus tanpa menoleh ke arahku yang sudah duduk di sofa di ruang tamunya. Burung beo itu berada dalam sangkar, tepat di samping kolam kecil sekitar 2 meter dari sofa tempatku duduk. Sangkar kayu jati dengan cat merah hati. Batu besar berbentuk balok menyangga sangkar itu.
“Emang apa istimewanya burung itu bagimu Nila?” aku coba menenangkan gejolak dalam hatiku.
“Lebih istimewa dari pada kau yang selalu mengharap kesenangan dariku,” jawabnya datar. “Burung ini memberikanku kebahagiaan yang tak terkira dan tidak mengharapkan balasan dariku. Tidak seperti kau yang selalu menginginkanku menemanimu setiap saat. Padahal hanya sore hari aku memintamu untuk mengerti aku.”
Aku mendesah. Begitu sulitnya mengerti jalan pikirannya. Hatinya begitu dalam untuk diselami. Aku belum menemukan rumah cintanya yang diperuntukkan untukku. Hal yang selalu membuatku cemas akan cintanya.
“Nila, andai kamu diberi pilihan…”
“Pilihan apa?” dia memotong pembicaraanku dan menoleh ke arahku.
“Apabila pada suatu waktu aku sakit bersamaan dengan burung beo itu, yang mana akan kamu dahulukan untuk menolongnya?”
Pertanyaan klise yang tidak menarik sebenarnya, tapi bagaimanapun aku harus mengutarakannya. Nila mengerutkan dahinya dan menatap tajam mataku. “Andai kamu yang tidak punya akal pikiran, bukan burung beo ini, maka kamulah yang akan aku tolong terlebih dahulu. Karena aku berpikir, kalau punya akal pikiran maka ia lebih mengerti bagaimana menjaga diri.”
Aku tersentak mendengar jawabannya. Tanganku gemetar dan mukaku memerah. Aku remas gantungan kunci motor yang ada di genggaman tanganku. “Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu. Besok aku tunggu kamu di tempat biasa,” tukasku lekas beranjak dari tempat dudukku.
Nila menoleh sebentar kemudian menganggukkan kepala pelan. “Aku harap kau mengerti, bagaimana caraku menyayangimu,” ucapnya pelan. Tapi aku tetap melangkah keluar meninggalkannya.
*****
Kejadian malam itu masih terasa segar terekam di memori otakku. Aku menganggapnya; itu semua gara-gara burung beo.
“Berarti benar dengan apa yang selalu digunjingkan tetangga tentang Mama,”suara samar ayah terdengar sampai ke kamarku. Aku kecil berusaha mendengarnya lebih jelas lagi. Menyingsingkan selimut dan mendekati pintu. Menempelkan telinga pada pintu.
“Maksud Ayah?” suara mama.
“Siapa Reno itu Ma?” suara bentakan Ayah membuat bulu kudukku merinding.
“Reno itu teman kerjaku, Yah. Tapi…”
“Mama bohong!” ayah memotong pembicaraan mama. “Tidak mungkin seorang lelaki berkunjung ke rumah perempuan pada jam kerja tanpa ada maksud tertentu. Apa lagi hanya sendirian.”
“Jangan seperti anak kecil, Yah! Itu hanya seekor burung. Reno jenguk aku tadi siang bersama istrinya. Tidak sendirian,” mama berusaha meyakinkan ayah.
“Burung beo itu menemaniku sejak kecil, Ma, dan tidak pernah bohong padaku. Setiap ada orang yang bertamu ke rumahku, ia selalu beritahukan padaku. Tidak mungkin beo itu cuma menyebut hanya satu nama saja kalau memang berdua,” ayah terus menyudutkan mama.
“Aku kecewa sama Ayah yang lebih percaya pada burung itu,” mama mengucapkan itu dengan suara serak.
“Memang, burung itu lebih aku sayangi dari pada Mama.”
Suasana jadi hening ketika kata-kata itu meluncur dari mulut ayah. Samar-samar terdengar tangis sesenggukan. Suara mama. Ada suara hantaman ke tembok, erangan ayah dan barang-barang berjatuhan di lantai. Pecah.
“Kalau begitu, Ayah harus memilih antara aku dan burung beo itu,” suara lirih itu cukup membuatku tersentak.
*****
Sejak kejadian itu aku tidak lagi merasakan sarapan pagi bersama dengan kehangatan sebuah keluarga yang harmonis. Aku pergi bersama mama meninggalkan rumah kelahiranku. Sedangkan ayah seakan pasrah dan tidak menggugat keputusan Hakim ketika hak asuhku diberikan sama mama.
“Tapi bagaimanapun ceritamu, aku tetap mencintai beoku,” tukas Nila tanpa menoleh ke arahku. Kami duduk di taman kampus, tepatnya di atas bangku panjang. Sebagian mahasiswa juga berada di taman, menggunakan waktu istirahat  dengan aktifitasnya masing-masing.
“Lalu dimanakah cintamu yang akan diberikan padaku?”
Mendengar pertanyaan itu dia lantas menatapku. Sorot matanya tajam menyelami danau mataku. “Aku meragukan cintamu, Burhanuddin,” ujarnya sinis dengan menyebut nama panjangku.
“Maksudmu?”
“Kau bukan mencintaiku tapi hanya ingin bersenang-senang denganku. Kau selalu menginginkan kesenangan dari apa yang tidak bisa aku berikan padamu. Padahal, mencintai itu bukan untuk mencari kesenangan tapi mencari penderitaan yang mau disulap menjadi kesenangan.”
Setelah bicara seperti itu ia langsung pergi, meninggalkanku sendiri di bangku panjang dengan pikiran tidak menentu. “Benarkah apa yang telah ia katakan tadi? Apakah aku tidak sungguh-sungguh mencintainya? Tapi apa salahnya selalu ingin bersama orang yang dicintai?” pertanyaan beruntun manuver di kepalaku. Hingga tidak terasa aku rebah di bangku panjang dan tertidur pulas.
*****
Aku tidak mengerti, kenapa sore ini Nila mau berkunjung ke rumahku. Ia seakan tergesa-gesa untuk sampai di rumahku. Ia hanya telpon sebentar menanyakan keberadaanku di rumah. Cepat sekali ia sampai di rumahku dan mengetuk pintu.
“Boleh kita ngobrol tidak di ruang tamu ini?” tanya Nila dengan nada menggantung.
“Boleh,” jawabku cepat. “Aku ganti baju dulu, nanti kita ke pantai yang sering aku idamkan menikmatinya bersamamu.”
“Tidak, aku tidak ingin di sana. Aku ingin di kamarmu saja,”ucapnya datar. Sontak aku kaget.
Aku terpaksa mengiyakan dan menuruti kemauannya.
“Aku bingung mau memulai dari mana cerita ini biar kamu mengerti kalau cinta bukan hanya saling menyayangi tapi juga saling memberi kebahagiaan dan mengerti kegundahan masing-masing,” ucap Nila parau, yang sebenarnya sudah aku sebut sebagai pembuka ceritanya.
Aku hanya terpaku menatapnya tanpa memberikan tanggapan ucapannya itu.
“Burung beo itu selalu memberikan warna dalam hidupku setelah kepergian ibuku. Ia selalu menemani soreku dengan suaranya yang parau dan sayu. Ia menjadi ibuku yang menimang-menimang anaknya saat masih bayi. Kata-katanya di waktu sore adalah kata-kata ibuku saat meninak-bobokkan aku. Kata-katanya di waktu sore adalah kata-kata ibuku saat menyuap bubur pada mulut mungilku dulu. Kata-katanya di waktu sore adalah kata-kata ibuku saat memberikan rayuan pada tangisku.”
“Tapi aku tidak tahu dan aku membencinya,” aku menyela.
“Aku tidak pernah bosan dengannya seperti ia tidak pernah bosan menghiburku di setiap sore. Burung beo itu selalu mengingat riuh resah ibu maka tidak ada alasan untuk aku tidak mengingatnya. Rinduku pada ibu terobati dengan hanya bersenda gurau bersamanya. Tetapi sekarang sudah berbeda, burung beo telah tiada. Tidak ada lagi yang mengajakku mengingat ibu. Tidak ada lagi suara ibu memanggilku.”
“Maafkan aku Nila, aku tidak tahu semua itu,” ucapku terbata.
“Jelas, kamu tidak tahu, karena yang ada di pikirkanmu hanya dirimu sendiri!” teriaknya. Matanya menyalak.
Aku kaget dengan teriakan lantangnya itu. Meja belajarku dibanting. Buku-buku dan peralatan tulisku berserakan. Baju-bajuku dikeluarkannya dari lemari gantungku. Aku lebih kaget lagi ketika ia menyeretku saat hendak menghalanginya dan menghempaskan tubuhku ke tempat tidur. Aku terpelanting.
“Sekarang lakukan apa yang kau inginkan Burhan.....!!” Nila menanggalkan pakaiannya satu-persatu ke lantai sampai tidak ada seutas benangpun yang melekat di tubuhnya. “Ini kan yang kamu harapkan sampai kau tega meracuni burung beoku?” ucapnya sinis.
Aku sadar kalau aku salah. Maafkan aku Nila.

Yogyakarta, 2011-2012

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.