Cerpen Maltuf A.
Gungsuma
(Cerpen ini dimuat di Minggu Pagi No. 23 Th. 65 Minggu II September 2012)
Aku tahu kau
mencintaiku. Menyayangiku apa adanya. Ingin menjadikan aku ayah bagi
anak-anakmu. Tapi jujur, aku cemburu pada beo yang selalu kau ajak bersenda gurau di waktu soremu. Kau selalu
berkilah ketika aku ajak jalan ke pantai menikmati sunset. Waktu soremu
tidak pernah kau berikan padaku. Kau biarkan kesunyian menemani soreku di balik
jendela.
Nila, aku
mencintaimu. Menyayangimu apa adanya. Persis, aku juga ingin menjadikanmu ibu
bagi anak-anakku. Tapi aku tidak suka kau membagi cintamu pada beo. Menjadikan
aku yang kedua yang kau cintai. Bahkan, sepertinya kau sudah melebur dalam
sayapnya. Beterbangan dalam kehidupannya. Menjadi betina bagi burung peliharaanmu itu.
Aku semakin
tidak mengerti dengan sikapmu. Kau ingin aku memahamimu, tapi kau tidak pernah
memahamiku. Satu sore aku ajak kau menemani kejenuhanku, kau tidak mau. Malah
kau menawariku bermain dengan beo kesayanganmu itu. Padahal, beo merupakan
burung yang paling aku benci, melebihi benciku pada Maya, perempuan yang pernah menghianati
cintaku itu. Burung beo menjadi biang kehancuran keluargaku. Karena burung itu ayah menceraikan
mama, Nila!
Ah, kejadian
itu sangat aku inginkan untuk melupakannya. Membuang jauh-jauh kenangan pahit
itu. Tapi tidak mungkin bila kau selalu merawat burung beo. Aku akan selalu
mengingat mata merah ayah saat bertatapan dengan mata burung itu. Terngiang kembali
bertengkaran malam itu bila mendengar kicaunya.
Apalagi sampai menemani kita di kamar pengantin nanti. Aku tidak bisa
membayangkan malamku bersamamu seperti apa.
*****
Seperti sore itu, aku mengetuk
pintu, seperti biasa Nila tidak membukakannya sampai aku mengetuk berkali-kali.
Andai pintu tidak terkunci, mungkin dia akan tetap di depan sangkar burung
beonya itu sambil teriak, “Masuk….tidak dikunci…”
Aku masuk dan Nila kembali lagi
duduk menghadap sangkar burungnya. Sesekali burung itu berbunyi atau lebih
tepatnya bersuara layaknya manusia dan sesekali juga Nila menyahutnya. Seakan
mereka memperbincangan sesuatu. Tapi entah . .!
“Sampai kapan kau seperti ini Nila?”
“Sampai takdir memisahkan kami,”
jawabnya ketus tanpa menoleh ke arahku yang sudah duduk di sofa di ruang
tamunya. Burung beo itu berada dalam sangkar, tepat di samping kolam kecil
sekitar 2 meter dari sofa tempatku duduk. Sangkar kayu jati dengan cat merah
hati. Batu besar berbentuk balok menyangga sangkar itu.
“Emang apa istimewanya burung itu
bagimu Nila?” aku coba menenangkan gejolak dalam hatiku.
“Lebih istimewa dari pada kau yang selalu
mengharap kesenangan dariku,” jawabnya datar. “Burung ini memberikanku
kebahagiaan yang tak terkira dan tidak mengharapkan balasan dariku. Tidak
seperti kau yang selalu menginginkanku menemanimu setiap saat. Padahal hanya
sore hari aku memintamu untuk mengerti aku.”
Aku mendesah. Begitu sulitnya
mengerti jalan pikirannya. Hatinya begitu dalam untuk diselami. Aku belum
menemukan rumah cintanya yang diperuntukkan untukku. Hal yang selalu membuatku
cemas akan cintanya.
“Nila, andai kamu diberi pilihan…”
“Pilihan apa?” dia memotong
pembicaraanku dan menoleh ke arahku.
“Apabila pada suatu waktu aku sakit
bersamaan dengan burung beo itu, yang mana akan kamu dahulukan untuk
menolongnya?”
Pertanyaan klise yang tidak menarik
sebenarnya, tapi bagaimanapun aku harus mengutarakannya. Nila mengerutkan
dahinya dan menatap tajam mataku. “Andai kamu yang tidak punya akal pikiran,
bukan burung beo ini, maka kamulah yang akan aku tolong terlebih dahulu. Karena
aku berpikir, kalau punya akal pikiran maka ia lebih mengerti bagaimana menjaga
diri.”
Aku tersentak mendengar jawabannya. Tanganku
gemetar dan mukaku memerah. Aku remas gantungan kunci motor yang ada di
genggaman tanganku. “Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu. Besok aku tunggu
kamu di tempat biasa,” tukasku lekas beranjak dari tempat dudukku.
Nila menoleh sebentar kemudian
menganggukkan kepala pelan. “Aku harap kau mengerti, bagaimana caraku
menyayangimu,” ucapnya pelan. Tapi aku tetap melangkah keluar meninggalkannya.
*****
Kejadian malam
itu masih terasa segar terekam di memori otakku. Aku menganggapnya; itu semua gara-gara
burung beo.
“Berarti benar
dengan apa yang selalu digunjingkan tetangga tentang Mama,”suara samar ayah terdengar
sampai ke kamarku. Aku kecil
berusaha mendengarnya lebih jelas lagi. Menyingsingkan selimut dan mendekati
pintu. Menempelkan telinga
pada pintu.
“Maksud Ayah?” suara mama.
“Siapa Reno
itu Ma?” suara bentakan Ayah
membuat bulu kudukku merinding.
“Reno itu
teman kerjaku, Yah.
Tapi…”
“Mama bohong!”
ayah memotong
pembicaraan mama. “Tidak mungkin seorang lelaki berkunjung ke rumah perempuan
pada jam kerja tanpa ada maksud tertentu. Apa lagi hanya sendirian.”
“Jangan
seperti anak kecil, Yah!
Itu hanya seekor burung. Reno jenguk aku tadi siang bersama istrinya. Tidak sendirian,”
mama berusaha meyakinkan ayah.
“Burung beo
itu menemaniku sejak kecil, Ma, dan tidak pernah bohong padaku. Setiap ada
orang yang bertamu ke rumahku, ia selalu beritahukan padaku. Tidak mungkin beo
itu cuma menyebut hanya satu nama saja kalau memang berdua,” ayah terus
menyudutkan mama.
“Aku kecewa
sama Ayah yang lebih
percaya pada burung itu,” mama mengucapkan itu dengan suara serak.
“Memang,
burung itu lebih aku sayangi dari pada Mama.”
Suasana jadi
hening ketika kata-kata itu meluncur dari mulut ayah. Samar-samar terdengar tangis sesenggukan.
Suara mama. Ada suara hantaman ke tembok, erangan ayah dan
barang-barang berjatuhan di lantai. Pecah.
“Kalau begitu,
Ayah harus memilih
antara aku dan burung beo itu,” suara lirih itu cukup membuatku tersentak.
*****
Sejak kejadian
itu aku tidak lagi merasakan sarapan pagi bersama dengan kehangatan sebuah
keluarga yang harmonis. Aku pergi bersama mama meninggalkan rumah kelahiranku. Sedangkan
ayah seakan pasrah dan tidak
menggugat keputusan Hakim ketika hak asuhku diberikan sama mama.
“Tapi
bagaimanapun ceritamu, aku tetap mencintai beoku,” tukas Nila tanpa menoleh ke
arahku. Kami duduk di
taman kampus, tepatnya di
atas bangku panjang.
Sebagian mahasiswa juga berada di taman, menggunakan waktu istirahat dengan aktifitasnya masing-masing.
“Lalu
dimanakah cintamu yang akan diberikan padaku?”
Mendengar
pertanyaan itu dia lantas menatapku.
Sorot matanya tajam menyelami danau mataku. “Aku meragukan cintamu, Burhanuddin,”
ujarnya sinis dengan menyebut nama panjangku.
“Maksudmu?”
“Kau bukan
mencintaiku tapi hanya ingin bersenang-senang denganku. Kau selalu menginginkan
kesenangan dari apa yang tidak bisa aku berikan padamu. Padahal, mencintai itu
bukan untuk mencari kesenangan tapi mencari penderitaan yang mau disulap
menjadi kesenangan.”
Setelah bicara
seperti itu ia langsung pergi, meninggalkanku sendiri di bangku panjang dengan
pikiran tidak menentu. “Benarkah apa yang telah ia katakan tadi? Apakah aku
tidak sungguh-sungguh mencintainya? Tapi apa salahnya selalu ingin bersama
orang yang dicintai?” pertanyaan beruntun manuver di kepalaku. Hingga tidak
terasa aku rebah di bangku panjang dan tertidur pulas.
*****
Aku tidak
mengerti, kenapa sore ini Nila mau berkunjung ke rumahku. Ia seakan
tergesa-gesa untuk sampai di rumahku. Ia hanya telpon sebentar menanyakan
keberadaanku di rumah. Cepat sekali ia sampai di rumahku dan mengetuk pintu.
“Boleh kita
ngobrol tidak di ruang tamu ini?” tanya Nila dengan nada menggantung.
“Boleh,”
jawabku cepat. “Aku ganti baju dulu, nanti kita ke pantai yang sering aku
idamkan menikmatinya bersamamu.”
“Tidak, aku
tidak ingin di sana. Aku ingin di kamarmu saja,”ucapnya datar. Sontak aku
kaget.
Aku terpaksa mengiyakan dan menuruti
kemauannya.
“Aku bingung mau memulai dari mana
cerita ini biar kamu mengerti kalau cinta bukan hanya saling menyayangi tapi juga
saling memberi kebahagiaan dan mengerti kegundahan masing-masing,” ucap Nila parau,
yang sebenarnya sudah aku sebut sebagai pembuka ceritanya.
Aku hanya terpaku menatapnya tanpa
memberikan tanggapan ucapannya itu.
“Burung beo itu selalu memberikan
warna dalam hidupku setelah kepergian ibuku. Ia selalu menemani soreku dengan
suaranya yang parau dan sayu. Ia menjadi ibuku yang menimang-menimang anaknya
saat masih bayi. Kata-katanya di waktu sore adalah kata-kata ibuku saat
meninak-bobokkan aku. Kata-katanya di waktu sore adalah kata-kata ibuku saat menyuap
bubur pada mulut mungilku dulu. Kata-katanya di waktu sore adalah kata-kata
ibuku saat memberikan rayuan pada tangisku.”
“Tapi aku tidak tahu dan aku
membencinya,” aku menyela.
“Aku tidak pernah bosan dengannya
seperti ia tidak pernah bosan menghiburku di setiap sore. Burung beo itu selalu
mengingat riuh resah ibu maka tidak ada alasan untuk aku tidak mengingatnya.
Rinduku pada ibu terobati dengan hanya bersenda gurau bersamanya. Tetapi
sekarang sudah berbeda, burung beo telah tiada. Tidak ada lagi yang mengajakku
mengingat ibu. Tidak ada lagi suara ibu memanggilku.”
“Maafkan aku Nila, aku tidak tahu
semua itu,” ucapku terbata.
“Jelas, kamu tidak tahu, karena yang
ada di pikirkanmu hanya dirimu sendiri!” teriaknya. Matanya menyalak.
Aku kaget dengan teriakan lantangnya
itu. Meja belajarku dibanting. Buku-buku dan peralatan tulisku berserakan. Baju-bajuku
dikeluarkannya dari lemari gantungku. Aku lebih kaget lagi ketika ia menyeretku
saat hendak menghalanginya dan
menghempaskan tubuhku ke tempat tidur. Aku terpelanting.
“Sekarang
lakukan apa yang kau inginkan Burhan.....!!” Nila menanggalkan pakaiannya satu-persatu ke lantai
sampai tidak ada seutas benangpun yang melekat di tubuhnya. “Ini kan
yang kamu harapkan sampai kau tega meracuni burung beoku?” ucapnya sinis.
Aku sadar kalau
aku salah. Maafkan aku Nila.
Yogyakarta,
2011-2012