Facebook Salsa

by 11.49 1 komentar
Pagi menyapa kamar Salsa yang sudah dirapikan oleh mbok Aini. Perempuan mungil itu sudah bangun dari tidurnya sejak mentari belum memperlihatkan parasnya. Sejak HP-nya berdering, dengan pertanda ada pesan masuk, ia bergegas menanggalkan selimut dan menyingkap gorden. Pesan dari Ferdi, teman Facebook-nya, membuatnya berjalan mondar-mandir di kamar, duduk dengan memangku tangan, dan kadang hanya memandang kosong ke luar jendela. Ada sesuatu yang meresahkan di pikiran anak akhir Sekolah Dasar itu. Padahal, mentari semakin meninggi dan bayang-bayangnya semakin memendek di lantai. “Kalau sudah bangun, langsung mandi Nak,” teriak mamanya dari lantai bawah. “Sebentar lagi Mam, kepala Salsa masih pening nih,” sahut Salsa membuat alasan. “Makanya mandi biar hilang rasa sakitnya. Setelah mandi dan ganti baju, langsung ke meja makan. Kita sarapan bareng sama Papa,” brondong ibunya yang membuat Salsa tidak bisa berkilah lagi dan manut dengan mengambil handuk Doranya. Setelah ketahuan Salsa sudah keluar dari pintu kamar, mamanya memasang senyum manis kepada anak semata-wayangnya itu. Ada segumpal kasih sayang tertanam dalam lubuk hatinya paling dalam. Tapi Salsa malah memasang muka cemberut dengan melangkah gontai ke kamar mandi. “Begitu dong, anak manis,” puji ibu Yanti, mamanya Salsa. Ia tidak menghiraukan anaknya itu cemberut. Ibu Yanti hanya bisa tersenyum sendiri melihat tingkah anak kesayangannya itu. *** Selesai mandi dan memakai seragam, Salsa menuruni tangga dan menghampiri meja makan. Papa dan mamanya sudah menunggu untuk sarapan bersama. Bagi pak Susno, ayah Salsa, sarapan pagi tidak bisa dilewatkan tanpa Salsa, karena hanya di waktu itulah bisa berkumpul satu meja dengan keluarga kecilnya. “Selamat pagi anak pintar,” sapa hangat pak Susno dengan senyum mengembang setelah Salsa berada di anak tangga paling bawah. “Pagi juga Pap,” sahut Salsa sambil berjalan menghampirinya. Pak Susno mencium kedua belah pipi anaknya itu dengan penuh kasih sayang. Begitu pula Salsa, balas mencium kedua pipi papanya. “Ya udah, duduk di meja makan kamu sana, biar tidak terlambat ke Sekolah,” perintah pak Susno kemudian. Mbok Aini sudah menyiapkan Roti dan segelas susu di meja makan Salsa. Walaupun masih terpikirkan dengan isi pesan dari Ferdi, ia tetap melahap hidangan itu dengan lahap. Ia tidak ingin papa dan mamanya curiga dan menanyakan prihal apa yang dipikirkannya sekarang. Begitu pula dengan segelas susunya yang diminumnya sampai tetes terakhir. “Wah, hebat anak Papa!” puji pak Susno lagi melihat anaknya telah selesai makan. “Biar cepat tumbuh besar Pap,” tukas Salsa sambil berdiri dan mengekspresikannya dengan menjinjing kedua kakinya. Pak Susno dan ibu Yanti sepontan tertawa melihat tingkah anaknya itu. “Ya udah, sekarang berangkat ke Sekolah, Pak Parmin sudah siap mengantarmu dengan mobil di depan,” suruh pak Susno kemudian pada Salsa. “Tapi ingat, jangan main-main HP terus di Sekolah. Tidak baik,” lanjutnya mengingatkan. “Ya, belajar yang rajin,” timpal ibu Yanti menambahkan. Salsa menganggukkan kepalanya walaupun di dalamnya terisi penuh dengan kegundahan. “Baiklah Pa, Ma, Salsa berangkat dulu. Dada…!” Akhirnya Salsa bisa berangkat ke sekolahnya dengan tenang. “Nanti dijemput agak kesorean ya Pak,” pesan Salsa pada pak Parmin setelah berada di dalam mobil. “Emang kenapa Non?” tanya pak Parmin yang tidak paham, karena biasanya ia menjemput Salsa paling lambat jam satu siang. “Nanti ada BIMTES UASBN Pak,” jawab Salsa beralasan. “Saya kasian sama Bapak kalo menunggu terlalu lama di Sekolah.” “Baiklah kalo begitu Non. Berarti saya masih sempat cuci mobil dulu sebelum menjemput Non!” Salsa tersenyum karena telah berhasil menjalankan akting berbohongnya yang keduakalinya. *** Pak Parmin berdiri dengan gelisah di luar gerbang Sekolah yang terkunci rapat. Mondar-mandir. Menimang-nimang HP-nya. Sesekali matanya ditebarkan ke dalam untuk memastikan sudah tidak ada seorang pun di situ. Begitu pula, tidak ada sosok mungil Salsa. Lelaki kurus berkumis tipis itu seakan tidak membenarkan dengan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri. Berulangkali pak Parmin mengulanginya. Hingga sampai satu jam, baru ia memutuskan menghubungi ibu Yanti. “Halo, Salsa tidak ada di Sekolahnya Bu,” tutur pak Parmin pada ibu Yanti setelah jaringan tersambung. “Apa?” suara kaget bu Yanti dari seberang sana. “Sudah dihubungi ke nomor HP-nya belum?” “Sudah Bu, tapi tidak aktif.” “Emang kamu kemana saja, kok Salsa baru dijemput sekarang?” “Emang permintaan Non Salsa begitu Bu,” pak Parmin membela diri. “Pokoknya saya tidak mau tau, yang jelas kamu harus bertanggungjawab kalo terjadi apa-apa pada Salsa,” ultimatum itu cukup mengagetkan pak Parmin dan membuat tubuhnya bergetar. Tidak bisa berucap. Bu Yanti berkacak pinggang seakan pak Parmin ada di depannya. Pak Parmin jadi serba salah. “Baiklah Bu, saya akan bertanggungjawab,” suara serak pak Parmin. Bu Yanti seakan merasakan apa yang dipikirkan pak Parmin dan membuatnya melunak. “Ya udah, sekarang kamu kisini, jemput saya, kita cari bersama. Nanti, saya akan beritahu Papa untuk melaporkannya ke polisi.” “Baik Bu!” *** Suara tangis seorang ibu tertahan terdengar sayup-sayup dalam pelukan pak Susno. Seorang ibu itu, tidak lain, adalah ibu Yanti. Suaranya parau. Air matanya tumpah pada kemeja pak Susno. Ibu Yanti menangis karena suaminya, pak Susno, sudah dua hari mencari jejak Salsa tapi tidak membuahkan hasil. Mendatangi semua teman-temannya. Menelusuri jalan-jalan sempit perkotaan sampai ke pelosok desa. Sampai saat ini belum ada titik terang tentang keberadaan Salsa. Harapan terakhir pak Susno hanya pasrah kepada polisi. Berbagai kabar mengembirakan datang silih berganti. Suatu waktu bilang, Salsa ditengarai ada di Semarang. Berapa jam kemudian pindah ke Yogyakarta. Sedangkan berita terakhir Salsa sudah di Surabaya. Polisi melacak keberadaan Salsa melalui sinyal HP-nya yang tetap dibawa walaupun dalam keadaan tidak aktif. “Pak, Bu, Pak, Bu, Non Salsa ada di TV,” teriak mbok Aini yang mulai tadi ditugaskan mengikuti berita di TV. Mendengar penuturan mbok Aini, Pak Susno dan ibu Yanti langsung berlarian ke depan TV. Hati kedua orang tua itu berdebar kencang. Ada sebersit doa yang melintas pada rasa kagetnya. Benar saja, walaupun dalam keadaan menunduk di depan kamera, ibu Yanti dan pak Susno yakin kalau anak perempuan itu merupakan anaknya. Dengan volume tidak terlalu keras, terdengar suara presenter TV itu bicara, “Jejaring sosial, Facebook, membawa korban kepada penggunanya. Salsa yang menghilang dua hari yang lalu, kini telah ditemukan dengan dibawa kabur bersama Pacar Facebook-nya. Lelaki itu mengaku bernama Ferdi. Dan belum dilakukan visum, apakah dalam dua hari ini, Ferdi tidak melakukan apa-apa terhadapnya....” Belum berakhir berita itu, ibu Yanti jatuh ke pangkuan pak Susno. Pingsan. “Maafkan aku, Mam!” “Kami yang salah karena tidak perhatian terhadapmu Anakku,” pak Susno mengerang dalam hati, penuh penyesalan. Yogyakarta, 2011 Cerpen ini dimuat di Harian Jogja pada hari Sabtu, 13 Agustus 2011

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

1 komentar:

  1. A…I : 6…0…9
    C…K : 6…9

    UNTUK LIHAT ANGKA JADI KLIK BLOG YG ADA DI BAWAH

    www.ramalangangkaangkatop.webs.com

    !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.