(Cerpen ini telah dimuat di koran Minggu Pagi tanggal 13 Agustus 2010)
Cerpen Maltuf A. Gungsuma
“Merdeka!”
“Merdeka!”
Suara itu
saling tumpangtindih memenuhi jalan. Mereka beriringan menuju lapangan
untuk melakukan upacara di hari ulang tahun kemerdekaan negerinya. Di
barisan depan paskibraka melangkah dengan tegap. Pemimpinnya dengan
tegap pula memegang bendera merah-putih ditumpukan pada perutnya. Tepat
di belakangnya, para aparatur pemerintah mengepalkan tangan tak kalah
lantang meneriakkan yel-yel kemerdekaan. Teriakan itu melengking
membelah langit. Seraya ingin memberitahukan pada seluruh dunia bahwa
negerinya memang telah merdeka. Merdeka dari penjajah, merdeka dari
diktatorial, merdeka dari apa aja.
Tiba-tiba
ada teriakan cukup keras dari arah berlawanan. Suara bergemuruh itu
berhenti seketika. Teriakan seorang pemuda berjejak merah. Teriakan
histeris penuh gulita. Langkahnya terseret-seret menuju rombongan
tersebut.
“Hentikan, jangan teruskan!”
Lelaki itu
berteriak untuk kesekian kalinya. Suaranya serak, mengeram. Ada
kegetiran yang menggetarkan. Ada keringat mengucur. Ada tangis kepiluan
menetes bak air cucuran atap.
Pemuda
berbaju compang-camping itu lantas membentangkan kedua tangannya,
menghadang rombongan. Semua langkah terhenti. Paskibraka masih dalam
keadaan kondisi tegap. Bendera merah-putih belum diturunkan. Mata pemuda
itu memerah, memandang mengitari wajah-wajah rombongan itu. Ada yang
geleng-geleng kepala menyaksikan ulahnya. Ada yang bisik-bisik, bahkan
ada yang menatap dengan mata melotot.
“Kita belum merdeka, masih terlalu pagi menyatakan demikian.”
“Siapa kamu,
pemuda bodoh? Tau apa kau tentang arti kemerdekaan, hah?” bentak salah
satu dari rombongan itu. Dialah lelaki berbaju satpam yang matanya
selalu melotot. Dia menghampiri lelaki itu. Menggenggam krah bajunya.
Dihempaskan tubuh ringkih itu ke aspal berjejak merah.
“Pergilah
kau dari sini, jangan pernah sentuh lagi negeri ini!” usir si mata
melotot. “Kau telah menghina negeri kami. Sepantasnya kami marah. Tapi
sebelum kami bertindak sewenang-wenang terhadapmu, enyahlah dari hadapan
kami. Jangan kau halangi langkah kami! Aku juga tidak sudi memberi
zakat kepadamu di lapangan nanti.”
Mendengar
itu lelaki berbaju compang-camping tertawa lepas, “Kalian tak ubahnya
seperti babi. Tolol,” kecamnya sambil menunjuk kepalanya, tanda mengejek
tidak mempunyai otak. Berhenti sejenak sambil mengelap jejak merah yang
menempel pada aspal. “Lihatlah jejak ini, betapa kemerdekaan masih
mahal harganya bagi kami di negeri ini. Hanya orang tertentu yang
merasakan kemerdekaan itu.”
“Itu bukan
salah kami, tapi salah kamu sendiri, kenapa tidak mau mengubah nasib,”
seorang Bupati membuka mulut. “Jadilah orang yang kuat bukan orang
pemalas. Kemerdekaan bagi orang yang mau berubah, bukan sepertimu yang
selalu mundur dalam melangkah. Jadi wajar jika kau tidak merasakan
kemerdekaan yang sudah lebih dari setengah abad ini. Orang pemalas
pantasnya dikolong jembatan bukan dalam kelas maupun di dalam kantoran
ber-ac.”
Seorang
Gubernur berjas warna dongker mendongakkan kepala ke atas, lalu berujar,
“Mentari sudah meninggi, kita jangan terlalu siang melakukan upacara
ini. Injak saja tubuh orang tak berguna ini. Menjadi resiko telah
menghalangi kita melaksanakan upacara kemerdekaan. Semua kalangan pasti
mengerti semua ini dan tidak akan menjadikan sebagai sebuah tindakan
kekejian. Kita tidak akan terjerat dengan hukum pidana. Jumlah kita
lebih banyak, seperti korupsi berjamaah, kita akan selamat.”
Semua kepala
saling berpandangan. Kemudian secara serentak menganggukkan kepala.
Paskibraka memberi aba-aba untuk bersiap. Tanpa dikomando lagi semua
bergerak. Berposisi badan tegap dan melangkahkan kaki tanpa mempedulikan
lelaki yang mengerang kesakitan karena terinjak bagian tubuhnya.
Yel-yel itu bergemuruh lagi menenggelamkan rintihan-rintihan. Kepalan
tangan diacung-acungkan ke langit sambil menyerukan kemerdekaan.
Sementara lelaki malang itu mengepalkan tangannya erat-erat sambil
menahan sakit.
Berlalunya
rombongan, menyisakan erangan kesakitan. Lelaki itu terlentang sekarat
sendirian. Ada sekerat senyum pada bibir hitam yang merembas darah.
“Biarlah mereka saksikan sendiri, betapa negeri ini belumlah merdeka!”
***
Sebuah malam
sebelum ulang tahun kemerdekaan. Tepatnya, di tengah lapangan dengan
dua buah gawang berhadapan. Tidak seperti biasanya yang kotor dengan
sampah-sampah plastik, lapangan itu begitu bersih malam ini. Sejak tadi
siang para warga gotong-royong membersihknnya. Karena besok upacara
kemerdekaan akan digelar. Para aparatur pemerintah akan berkumpul di
sana bersama para warga dan pelajar. Melakukan upacara kemerdekaan
dengan gegap-gembita.
Malam begitu
cerah pada pertengahan bulan Agustus ini. Bulan hampir sempurna
menggantung di langit. Angin gemelisir tak tentu arah berhembus
menyisakan kedinginan yang menusuk tulang. Sebagian orang memilih
berdiam dalam rumah. Sebagian lagi berbaju tebal mencoba melawan
hembusan angin. Tapi siapa tahu, sekelebat bayangan melintas di sekitar
lapangan itu. Separuh tubuhnya ditutupi dengan sarung, hanya menampakkan
kedua belah matanya. Dialah Samsuni.
Samsuni
tiba-tiba menghentikan langkahnya di bawah pohon beringin. Dia
menyaksikan ada dua bayangan yang lain di tengah lapangan. Dengan cepat
tubuhnya menyelinap di belakang pohon, yang membuatnya tidak terlihat.
Diintipnya dua bayangan itu yang sangat dikenalinya.
“Marhawi dan
Surandi, kenapa mereka ada di tengah lapangan?” ucapnya setengah
berbisik. “Apa mungkin mereka mempunyai urusan yang sama dengan urusanku
malam ini?” lanjutnya dengan perasaan penasaran.
Dari
kejauhan Samsuni dikejutkan dengan Marhawi yang tiba-tiba telah memegang
kerah baju Surandi. Dipukuli wajahnya berkali-kali. Surandi tidak
melakukan perlawanan. Samsuni tau, itu yang akan terjadi. Surandi tidak
akan punya cukup keberanian untuk melawan Marhawi.
“Mau ngapain kamu di sini, hah?”
Bentakan
keras itu terdengar jelas oleh Samsuni. Siapa yang tidak gemetar kalau
mendengar suara Marhawi. Suaranya bergelegar seperti halilintar, apalagi
di suasana sepi seperti malam ini.
“Emang apa salahku Bang?”
“Kamu tau sendiri kan, ini merupakan tanah kekuasaanku? Itulah salahmu!”
Memang
Marhawilah yang ditugaskan oleh Bupati untuk menjaga gudang penyimpanan
sembako yang akan dibagikan besok. Dengan dorongan keras Marhawi, tubuh
Surandi terlempar beberapa meter dari tempat berdirinya. Terjerembab ke
tanah. Mengerang kesakitan.
Tapi Surandi
adalah orang licik. Tanpa diduga sama Marhawi, Surandi begitu cepat
bangkit sambil mengambil sebilah keris dari pinggangnya. Benda tajam itu
sudah di genggaman tangannya. Pada waktu Marhawi menoleh, waktu itulah
Surandi dengan cepat menusuknya dari belakang. Sungguh naas nasib
Marhawi yang tidak bisa mengelak.
“Rasakan ini Bang! Cuih!”
Keris itu
telah menancap pada tubuh Marhawi. Surandi tertawa menyaksikan Marhawi
mengerang kesakitan. Tapi terhenti ketika tubuh Marhawi masih berdiri
kokoh. Malah Marhawi menyeringai dan mengambil sebuah belati dari
pinggangnya. “Jasadku tidak akan tenang bila orang yang membunuhku masih
berkeliaran pada saat-saat kematiaanku,” tukasnya dengan darah mengucur
dari punggungnya. Maka dengan cekatan, Marhawi berhasil menancapkan
belati itu di perut Surandi.
“Mari kita sama-sama bertamasya ke alam sana. Kita mengadu pada Tuhan tentang ketidakadilan di negeri ini.”
Berakhir
kata-kata itu, Marhawi dan Surandi jatuh berbarengan dengan bersimbah
darah. Samsuni keluar dari persembunyiannya. Melangkah mengendap-endap
mendekati kedua mayat itu.
“Hah,
tinggal aku sendiri sekarang. Sebentar lagi aku akan kaya raya. Sembako
itu akan aku jual,” tukas Samsuni menyeringai. Bibirnya tersenyum tipis
saat melihat gudang penyimpanan sembako. Tiba-tiba saja ada rasa takut
menjalar pada hatinya. “Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang memergokiku
di sini malam ini dan menyangka akulah penyebab kematian mereka?”
Samsuni
berfikir keras. Maka diputuskan untuk menyingkirkan mayat itu. Belum
sempat dia menyeret kedua mayat itu, sebuah balok kayu mengenai
kepalanya. Ketika badannya berbalik sebuah tusukan benda tajam menghujam
perutnya hingga robek mengeluarkan cairan merah. Tubuhnya jadi lunglai
dan roboh ke tanah.
***
Darah-darah
manusia membanjiri lapangan yang seharusnya hari ini dijadikan tempat
peringatan kemerdekaan Indonesia. Daun hijau rumput berubah total
menjadi merah. Tubuh-tubuh bergeletakan di mana-mana. Ternyata bukan
satu, dua, tiga saja yang jadi korban tadi malam. Setelah Samsuni
terbunuh, masih ada yang terbunuh lagi dan berantai hingga berjumlah
ratusan. Motifnya sama, ingin merampok sembako yang disimpan di gudang
dekat lapangan. Sembako itu rencananya akan dibagikan pada masyarakat
setelah upacara selesai. Tragisnya, semua korban berstatus pemulung.
Rombongan
sudah mulai tadi tiba di lapangan upacara. Tapi belum ada satupun yang
mau memasuki lapangan itu. Para rombongan lebih memilih mematung di
pinggir.
“Ternyata benar kata orang yang menghadang kita di jalanan tadi, bahwa kita belum sepenuhnya merdeka,” tukas satpam.
“Jangan terlalu cepat memberi anggapan yang merugikan,” timpal Bupati.
“Ya, benar,”
Gubernur ikut membenarkan. “Bukti kita telah merdeka adalah demokrasi
telah berjalan efektif di negeri ini. Bahkan, negara kita adalah negara
paling demokratis ketimbang Belanda yang telah menjajah kita selama 3,5
abad itu.”
“Walaupun pengangguran dan kemiskinan masih banyak di negeri ini?” celetuk dari salah seorang rombongan.
Gubernur
diam sebentar. “Sampai kapanpun persoalan itu tidak akan bisa
diselesaikan hingga tuntas. Pemerintah hanya mengurangi dampaknya tanpa
menambah beban.”
“Oia, mau upacara di mana kita, Pak?”
Pak Bupati dan Pak Gubernur diam. Satpam yang bertanya melirik ke sekitar, semua rombongan juga ikut diam.
Yogyakarta, 2009-2010
kemerdekaan hanya hak segala upacara
BalasHapus