Sebuah Kemerdekaan

by 13.22 1 komentar
(Cerpen ini telah dimuat di koran Minggu Pagi tanggal 13 Agustus 2010)
Cerpen Maltuf A. Gungsuma

 “Merdeka!”
“Merdeka!”
Suara itu saling tumpangtindih memenuhi jalan. Mereka beriringan menuju lapangan untuk melakukan upacara di hari ulang tahun kemerdekaan negerinya. Di barisan depan paskibraka melangkah dengan tegap. Pemimpinnya dengan tegap pula memegang bendera merah-putih ditumpukan pada perutnya. Tepat di belakangnya, para aparatur pemerintah mengepalkan tangan tak kalah lantang meneriakkan yel-yel kemerdekaan. Teriakan itu melengking membelah langit. Seraya ingin memberitahukan pada seluruh dunia bahwa negerinya memang telah merdeka. Merdeka dari penjajah, merdeka dari diktatorial, merdeka dari apa aja.
Tiba-tiba ada teriakan cukup keras dari arah berlawanan. Suara bergemuruh itu berhenti seketika. Teriakan seorang pemuda berjejak merah. Teriakan histeris penuh gulita. Langkahnya terseret-seret menuju rombongan tersebut.
“Hentikan, jangan teruskan!”
Lelaki itu berteriak untuk kesekian kalinya. Suaranya serak, mengeram. Ada kegetiran yang menggetarkan. Ada keringat mengucur. Ada tangis kepiluan menetes bak air cucuran atap.
Pemuda berbaju compang-camping itu lantas membentangkan kedua tangannya, menghadang rombongan. Semua langkah terhenti. Paskibraka masih dalam keadaan kondisi tegap. Bendera merah-putih belum diturunkan. Mata pemuda itu memerah, memandang mengitari wajah-wajah rombongan itu. Ada yang geleng-geleng kepala menyaksikan ulahnya. Ada yang bisik-bisik, bahkan ada yang menatap dengan mata melotot.
“Kita belum merdeka, masih terlalu pagi menyatakan demikian.”
“Siapa kamu, pemuda bodoh? Tau apa kau tentang arti kemerdekaan, hah?” bentak salah satu dari rombongan itu. Dialah lelaki berbaju satpam yang matanya selalu melotot. Dia menghampiri lelaki itu. Menggenggam krah bajunya. Dihempaskan tubuh ringkih itu ke aspal berjejak merah.
“Pergilah kau dari sini, jangan pernah sentuh lagi negeri ini!” usir si mata melotot. “Kau telah menghina negeri kami. Sepantasnya kami marah. Tapi sebelum kami bertindak sewenang-wenang terhadapmu, enyahlah dari hadapan kami. Jangan kau halangi langkah kami! Aku juga tidak sudi memberi zakat kepadamu di lapangan nanti.”
Mendengar itu lelaki berbaju compang-camping tertawa lepas, “Kalian tak ubahnya seperti babi. Tolol,” kecamnya sambil menunjuk kepalanya, tanda mengejek tidak mempunyai otak. Berhenti sejenak sambil mengelap jejak merah yang menempel pada aspal. “Lihatlah jejak ini, betapa kemerdekaan masih mahal harganya bagi kami di negeri ini. Hanya orang tertentu yang merasakan kemerdekaan itu.”
“Itu bukan salah kami, tapi salah kamu sendiri, kenapa tidak mau mengubah nasib,” seorang Bupati membuka mulut. “Jadilah orang yang kuat bukan orang pemalas. Kemerdekaan bagi orang yang mau berubah, bukan sepertimu yang selalu mundur dalam melangkah. Jadi wajar jika kau tidak merasakan kemerdekaan yang sudah lebih dari setengah abad ini. Orang pemalas pantasnya dikolong jembatan bukan dalam kelas maupun di dalam kantoran ber-ac.”
Seorang Gubernur berjas warna dongker mendongakkan kepala ke atas, lalu berujar, “Mentari sudah meninggi, kita jangan terlalu siang melakukan upacara ini. Injak saja tubuh orang tak berguna ini. Menjadi resiko telah menghalangi kita melaksanakan upacara kemerdekaan. Semua kalangan pasti mengerti semua ini dan tidak akan menjadikan sebagai sebuah tindakan kekejian. Kita tidak akan terjerat dengan hukum pidana. Jumlah kita lebih banyak, seperti korupsi berjamaah, kita akan selamat.”
Semua kepala saling berpandangan. Kemudian secara serentak menganggukkan kepala. Paskibraka memberi aba-aba untuk bersiap. Tanpa dikomando lagi semua bergerak. Berposisi badan tegap dan melangkahkan kaki tanpa mempedulikan lelaki yang mengerang kesakitan karena terinjak bagian tubuhnya. Yel-yel itu bergemuruh lagi menenggelamkan rintihan-rintihan. Kepalan tangan diacung-acungkan ke langit sambil menyerukan kemerdekaan. Sementara lelaki malang itu mengepalkan tangannya erat-erat sambil menahan sakit.
Berlalunya rombongan, menyisakan erangan kesakitan. Lelaki itu terlentang sekarat sendirian. Ada sekerat senyum pada bibir hitam yang merembas darah. “Biarlah mereka saksikan sendiri, betapa negeri ini belumlah merdeka!”

***

Sebuah malam sebelum ulang tahun kemerdekaan. Tepatnya, di tengah lapangan dengan dua buah gawang berhadapan. Tidak seperti biasanya yang kotor dengan sampah-sampah plastik, lapangan itu begitu bersih malam ini. Sejak tadi siang para warga gotong-royong membersihknnya. Karena besok upacara kemerdekaan akan digelar. Para aparatur pemerintah akan berkumpul di sana bersama para warga dan pelajar. Melakukan upacara kemerdekaan dengan gegap-gembita.
Malam begitu cerah pada pertengahan bulan Agustus ini. Bulan hampir sempurna menggantung di langit. Angin gemelisir tak tentu arah berhembus menyisakan kedinginan yang menusuk tulang. Sebagian orang memilih berdiam dalam rumah. Sebagian lagi berbaju tebal mencoba melawan hembusan angin. Tapi siapa tahu, sekelebat bayangan melintas di sekitar lapangan itu. Separuh tubuhnya ditutupi dengan sarung, hanya menampakkan kedua belah matanya. Dialah Samsuni.
Samsuni tiba-tiba menghentikan langkahnya di bawah pohon beringin. Dia menyaksikan ada dua bayangan yang lain di tengah lapangan. Dengan cepat tubuhnya menyelinap di belakang pohon, yang membuatnya tidak terlihat. Diintipnya dua bayangan itu yang sangat dikenalinya.
“Marhawi dan Surandi, kenapa mereka ada di tengah lapangan?” ucapnya setengah berbisik. “Apa mungkin mereka mempunyai urusan yang sama dengan urusanku malam ini?” lanjutnya dengan perasaan penasaran.
Dari kejauhan Samsuni dikejutkan dengan Marhawi yang tiba-tiba telah memegang kerah baju Surandi. Dipukuli wajahnya berkali-kali. Surandi tidak melakukan perlawanan. Samsuni tau, itu yang akan terjadi. Surandi tidak akan punya cukup keberanian untuk melawan Marhawi.
“Mau ngapain kamu di sini, hah?”
Bentakan keras itu terdengar jelas oleh Samsuni. Siapa yang tidak gemetar kalau mendengar suara Marhawi. Suaranya bergelegar seperti halilintar, apalagi di suasana sepi seperti malam ini.
“Emang apa salahku Bang?”
“Kamu tau sendiri kan, ini merupakan tanah kekuasaanku? Itulah salahmu!”
Memang Marhawilah yang ditugaskan oleh Bupati untuk menjaga gudang penyimpanan sembako yang akan dibagikan besok. Dengan dorongan keras Marhawi, tubuh Surandi terlempar beberapa meter dari tempat berdirinya. Terjerembab ke tanah. Mengerang kesakitan.
Tapi Surandi adalah orang licik. Tanpa diduga sama Marhawi, Surandi begitu cepat bangkit sambil mengambil sebilah keris dari pinggangnya. Benda tajam itu sudah di genggaman tangannya. Pada waktu Marhawi menoleh, waktu itulah Surandi dengan cepat menusuknya dari belakang. Sungguh naas nasib Marhawi yang tidak bisa mengelak.
“Rasakan ini Bang! Cuih!”
Keris itu telah menancap pada tubuh Marhawi. Surandi tertawa menyaksikan Marhawi mengerang kesakitan. Tapi terhenti ketika tubuh Marhawi masih berdiri kokoh. Malah Marhawi menyeringai dan mengambil sebuah belati dari pinggangnya. “Jasadku tidak akan tenang bila orang yang membunuhku masih berkeliaran pada saat-saat kematiaanku,” tukasnya dengan darah mengucur dari punggungnya. Maka dengan cekatan, Marhawi berhasil menancapkan belati itu di perut Surandi.
“Mari kita sama-sama bertamasya ke alam sana. Kita mengadu pada Tuhan tentang ketidakadilan di negeri ini.”
Berakhir kata-kata itu, Marhawi dan Surandi jatuh berbarengan dengan bersimbah darah. Samsuni keluar dari persembunyiannya. Melangkah mengendap-endap mendekati kedua mayat itu.
“Hah, tinggal aku sendiri sekarang. Sebentar lagi aku akan kaya raya. Sembako itu akan aku jual,” tukas Samsuni menyeringai. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat gudang penyimpanan sembako. Tiba-tiba saja ada rasa takut menjalar pada hatinya. “Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang memergokiku di sini malam ini dan menyangka akulah penyebab kematian mereka?”
Samsuni berfikir keras. Maka diputuskan untuk menyingkirkan mayat itu. Belum sempat dia menyeret kedua mayat itu, sebuah balok kayu mengenai kepalanya. Ketika badannya berbalik sebuah tusukan benda tajam menghujam perutnya hingga robek mengeluarkan cairan merah. Tubuhnya jadi lunglai dan roboh ke tanah.

***

Darah-darah manusia membanjiri lapangan yang seharusnya hari ini dijadikan tempat peringatan kemerdekaan Indonesia. Daun hijau rumput berubah total menjadi merah. Tubuh-tubuh bergeletakan di mana-mana. Ternyata bukan satu, dua, tiga saja yang jadi korban tadi malam. Setelah Samsuni terbunuh, masih ada yang terbunuh lagi dan berantai hingga berjumlah ratusan. Motifnya sama, ingin merampok sembako yang disimpan di gudang dekat lapangan. Sembako itu rencananya akan dibagikan pada masyarakat setelah upacara selesai. Tragisnya, semua korban berstatus pemulung.
Rombongan sudah mulai tadi tiba di lapangan upacara. Tapi belum ada satupun yang mau memasuki lapangan itu. Para rombongan lebih memilih mematung di pinggir.
“Ternyata benar kata orang yang menghadang kita di jalanan tadi, bahwa kita belum sepenuhnya merdeka,” tukas satpam.
“Jangan terlalu cepat memberi anggapan yang merugikan,” timpal Bupati.
“Ya, benar,” Gubernur ikut membenarkan. “Bukti kita telah merdeka adalah demokrasi telah berjalan efektif di negeri ini. Bahkan, negara kita adalah negara paling demokratis ketimbang Belanda yang telah menjajah kita selama 3,5 abad itu.”
“Walaupun pengangguran dan kemiskinan masih banyak di negeri ini?” celetuk dari salah seorang rombongan.
Gubernur diam sebentar. “Sampai kapanpun persoalan itu tidak akan bisa diselesaikan hingga tuntas. Pemerintah hanya mengurangi dampaknya tanpa menambah beban.”
“Oia, mau upacara di mana kita, Pak?”
Pak Bupati dan Pak Gubernur diam. Satpam yang bertanya melirik ke sekitar, semua rombongan juga ikut diam.

Yogyakarta, 2009-2010

Maltuf A. Gungsuma

Penulis

Aku hanya seorang lelaki yang menjalani hidup ini dengan sederhana. Sesedarhana tidur untuk menyembuhkan kantuk dan sesederhana senyum untuk menyembunyikan luka. Ibuku pun mengajari, "Jika kau lapar di rantau, Nak, makanlah 1 gorengan dan minumlah yang banyak, niscaya akan kenyang". Ya, sesederhana itu.

1 komentar:

Saya bahagia bila Anda bersedia memberi komentar setelah membaca tulisan di atas. Terima kasih.